27 TAHUN REFORMASI DALAM CENGKRAMAN HANTU ORDE BARU YANG TIDAK PERNAH BENAR-BENAR PERGI

Foto Istimewa

(IHINEWS) Karawang 12/05/2025, Gerakan reformasi tahun 1998 ditandai dengan terjadinya penembakan terhadap mahasiswa Trisakti yang berujung menjadi kerusuhan massal pada tanggal 12-13 Mei 1998. Hari ini setelah 27 tahun berlalu sejak gerakan awal Reformasi 1998 untuk menggulingkan rezim otoriter Soeharto, Indonesia masih bergulat dengan bayang-bayang masa lalu yang menghantui janji demokrasi. Reformasi, yang diharapkan menjadi pintu menuju pemerintahan yang transparan, penegakan hukum yang adil, dan penghormatan terhadap HAM, justru menyisakan pekerjaan rumah yang tak kunjung tuntas. Di balik kemajuan seperti pemilihan langsung dan kebebasan pers, tiga persoalan kritis masih membelit: impunitas kasus HAM, lemahnya penegakan hukum, dan kembalinya kekuatan militer ke ranah sipil—semuanya mengikis fondasi demokrasi yang diperjuangkan dengan darah dan air mata.

Hak Asasi Manusia : Dendam Sejarah yang Tak Kunjung Usai

Reformasi lahir dari tragedi pelanggaran HAM massal, tetapi justru gagal mengadili masa lalu. Kasus-kasus seperti pembunuhan aktivis Munir Said Thalib (2004), penembakan mahasiswa Trisakti (1998), hingga pelanggaran HAM era Soeharto, seperti pembantaian 1965 dan kekerasan di Timor Timur masih teronggok dalam ruang gelap impunitas. Komnas HAM mencatat setidaknya 13 kasus berat yang mandek di Kejaksaan Agung, tanpa proses hukum yang serius. Di Papua, konflik bersenjata dan militarisasi terus memakan korban sipil, sementara upaya dialog dihalangi oleh stigma separatis. Penyelesaian yang setengah hati ini bukan hanya mengubur keadilan bagi korban, tetapi juga meracuni rekonsiliasi nasional.

Penegakan Hukum : KPK dan Cengkeraman Oligarki

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang dulu menjadi simbol perlawanan terhadap korupsi, kini kehilangan taringnya. Revisi UU KPK pada 2019 melemahkan independensinya dengan membentuk Dewan Pengawas yang kerap dipolitisasi, serta memindahkan kewenangan penyadapan ke kepolisian, institusi yang justru rawan disusupi koruptor. Akibatnya, sejumlah kasus besar seperti korupsi dana COVID-19 dan skandal perpajakan “Panama Papers” lamban diselidiki. Sementara itu, mafia hukum dan kongkalikong elit politik-bisnis tetap kebal, mencerminkan bagaimana oligarki menguasai ruang hukum. Ketidakadilan ini semakin nyata saat rakyat kecil dihukum berat untuk kasus kecil, sementara koruptor kelas kakap bebas berkeliaran.

Militerisasi : TNI Kembali ke Panggung Politik?

Pascareformasi, TNI secara formal meninggalkan politik praktis, tetapi jejaknya masih membekas. Peningkatan jumlah perwira aktif yang menduduki jabatan sipil seperti menteri, kepala daerah, bahkan direktur BUMN, menguatkan kekhawatiran kembalinya militerisme. Di tingkat lokal, program “TNI Manunggal Membangun Desa” (TMMD) dan operasi teritorial memperluas pengaruh militer dalam urusan sipil, terutama di daerah konflik seperti Papua. Celakanya, keberadaan TNI sering diikuti pelanggaran HAM, seperti penembakan di Nduga (2018) dan Intan Jaya (2020), yang jarang diusut tuntas. Situasi ini diperparah oleh RUU KUHP yang mengkriminalisasi kritik terhadap pemerintah dan TNI, mengubur transparansi.

Demokrasi di Ujung Tanduk : Ruang Sipil yang Menyempit

Demokrasi Indonesia sedang sakit. Pembatasan kebebasan berekspresi melalui UU ITE yang kerap disalahgunakan untuk kriminalisasi aktivis, pembubaran demonstrasi dengan kekerasan, dan pengesahan Omnibus Law yang mengabaikan partisipasi publik adalah bukti nyata. Ruang sipil semakin sempit ketika negara menggunakan pendekatan keamanan untuk mematikan suara kritis, seperti pelabelan “radikal” terhadap organisasi masyarakat sipil. Di saat yang sama, politisasi agama dan identitas menjadi alat kampanye praktis yang mengancam kebhinekaan.

Penutup : Reformasi atau Kemunduran?

Dua puluh tujuh tahun Reformasi mengajarkan bahwa demokrasi bukan sekadar pemilu, tetapi juga keberanian menghadapi masa lalu dan konsistensi menegakkan keadilan. Jika negara terus abai terhadap HAM, membiarkan korupsi merajalela, dan membuka pintu bagi militerisme, maka Reformasi hanya akan menjadi nostalgia pahit. Perlawanan harus dimulai dari desakan revisi kebijakan yang represif, penguatan institusi hukum, dan keberpihakan pada korban. Jika tidak, Indonesia hanya akan berjalan di tempat, atau bahkan mundur, sambil terus dicengkeram oleh hantu Orde Baru yang tak pernah benar-benar pergi.

Shanto Adi P/Editor

5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments