Foto Istimewa
(IHINEWS) Karawang (03/06/2025), Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) sering diproklamirkan sebagai penjaga standar kerja layak global, tetapi dalam konteks Indonesia, perannya justru menjadi paradoks: di satu sisi memberi kerangka normatif perlindungan buruh, di sisi lain melanggengkan ketimpangan struktural melalui pendekatan teknokratis yang mengaburkan akar penindasan.
Birokratisasi Perjuangan Buruh: Dari Mobilisasi ke Meja Perundingan
ILO menggantikan konfrontasi kelas dengan “dialog sosial” yang steril, mengubah serikat buruh dari kekuatan penekan menjadi mitra negosiasi dalam sistem yang timpang:
a. Tripartisme sebagai Alat Legitimasi : Forum tripartit ILO (pemerintah-pengusaha-buruh) dijadikan alat untuk meredam tuntutan radikal. Dalam praktiknya, ketimpangan kekuasaan membuat buruh selalu dalam posisi inferior. Contoh nyata terlihat dalam pembahasan UU Cipta Kerja, di mana serikat buruh dikalahkan dalam forum tripartit domestik sebelum akhirnya membawa protes ke Konferensi ILO 2023 .
b. Proyek Kapasitas Teknis yang Apolitis: ILO fokus pada pelatihan teknis (seperti Labour Law Guideline dan lokakarya) tanpa menyentuh ketidakadilan struktural. Pendekatan ini mengalihkan energi serikat buruh dari advokasi hak dasar ke penyelesaian sengketa individual, seperti simulasi penghitungan THR atau pesangon.
Legitimasi Kebijakan Anti-Buruh: Kasus UU Cipta Kerja
ILO gagal menjadi benteng perlindungan buruh ketika berhadapan dengan kebijakan eksploitatif:
a. Diam terhadap Pelanggaran Konvensi: UU Cipta Kerja secara nyata melanggar Konvensi ILO No. 87 (kebebasan berserikat) dan No. 98 (perundingan bersama), terutama dalam pasal tentang alih daya seumur hidup dan pelemahan serikat. Meski KSPI dan KSBSI berhasil membawanya ke Konferensi ILO 2023, respons ILO hanya berupa rekomendasi tanpa sanksi.
b. Studi yang Dikooptasi: Riset ILO tentang dampak UU Cipta Kerja di sektor garmen justru dipakai pemerintah untuk membenarkan narasi “fleksibilitas pasar kerja”, meski studi itu sendiri mengungkap kerentanan pekerja kontrak.
Depolitisasi Gerakan Buruh: Dari Ideologi ke Administrasi
ILO mencabut gerakan buruh dari akar ideologisnya dan menggantinya dengan pendekatan manajerial:
a. Pendidikan Politik yang Dilupakan: Berbeda dengan era Orde Lama di mana serikat buruh seperti SOBSI menjalankan kursus politik pendekatan ILO hanya mengajarkan kepatuhan hukum. Akibatnya, buruh kehilangan kesadaran tentang akar penindasan: sistem kapitalis yang diekspos Aidit dalam Sejarah Gerakan Buruh Indonesia (1952) sebagai penghisapan struktural.
b. Fragmentasi sebagai Dampak: Minimnya pendidikan ideologi membuat gerakan buruh mudah terpecah oleh konflik personal, seperti yang terjadi pada 86 serikat nasional hari ini. ILO tidak mengintervensi fragmentasi ini, padahal ia menjadi penghambat utama konsolidasi kekuatan.
Inkonsistensi Perlindungan: Buruh Migran dan Pemberangusan Serikat
ILO abai terhadap pelanggaran hak buruh di dua sektor kritis:
a. Buruh Migran sebagai Korban Sistem: Meski Indonesia mendesak ILO lebih vokal melindungi TKI dari pelecehan di luar negeri, ILO bersembunyi di balik argumen “bukan lembaga advokasi kasus per kasus”. Padahal, mekanisme pengaduan ILO hanya efektif jika diikuti tekanan diplomasi konkret yang jarang terjadi .
b. Pembiaran Union Busting: ILO tidak menggunakan otoritasnya untuk menekan pemerintah menghentikan praktik pemberangusan serikat (union busting). Data LBH Jakarta menunjukkan peningkatan kasus dari 2 (2008) menjadi 11 (2011), dengan pola mutasi, PHK, hingga kriminalisasi aktivis. Padahal, Konvensi ILO No. 87 menjamin kebebasan berserikat.
Keterbatasan Konsep “Pekerjaan Layak” dalam Sistem Kapitalis Global
Agenda ILO tentang decent work mengabaikan realitas ekonomi politik Indonesia:
a. Formalisasi sebagai Solusi Semu: ILO mendorong transisi dari pekerjaan informal ke formal, tetapi di Indonesia, sektor formal justru menyusut pasca-UU Cipta Kerja. Proyeksi ILO sendiri menyebut 50 juta pekerjaan akan hilang akibat teknologi, sementara lapangan kerja baru hanya 3,7 juta.
b. Upah Minimum yang Tidak Manusiawi: ILO tidak mendorong revisi kebijakan upah berbasis KHL (Kebutuhan Hidup Layak) yang hanya memenuhi kebutuhan buruh lajang, mengabaikan tanggungan keluarga. Padahal, ini melanggengkan kemiskinan struktural .
ILO sebagai Alat Status Quo
Intervensi ILO di Indonesia telah menjadi mesin depolitisasi gerakan buruh:
a. Dialog Sosial sebagai Perangkap: Konsep social dialogue ILO yang digadang sebagai alternatif social confrontation ala Marx ternyata hanya efektif jika buruh punya kekuatan setara dengan pengusaha. Dalam ketimpangan seperti di Indonesia, ia menjadi alat stabilitas bagi investasi, bukan keadilan.
b. ILO dan Hegemoni Neoliberal: Dengan mempromosikan “fleksibilitas pasar kerja” dan kemitraan dengan pengusaha, ILO secara tidak langsung menjadi corong neoliberalisme yang mengorbankan hak buruh demi akumulasi kapital.
Jalan Keluar: Reclaiming the Movement
Gerakan buruh Indonesia harus menolak ketergantungan pada ILO dan kembali ke strategi dasar:
a. Pendidikan Ideologis Massif: Menghidupkan kembali kursus politik untuk membangun kesadaran kelas dan melawan fragmentasi.
b. Advokasi Transnasional Otonom: Memakai forum ILO sebagai panggung tekanan politik (seperti kasus UU Cipta Kerja), tetapi tak berharap pada mekanismenya.
c. Koalisi Lintas Sektor: Memperluas isu buruh ke hak konstitusional (pendidikan, perumahan) dan bersolidaritas dengan gerakan agraria/lingkungan untuk membangun kekuatan kontra-hegemonik.
Pada akhirnya, sejarah gerakan buruh Indonesia dari pemogokan era kolonial hingga perlawanan terhadap UU Cipta Kerja membuktikan bahwa perubahan hanya lahir dari konfrontasi, bukan kompromi. ILO boleh tetap ada sebagai mitra taktis, tetapi ia bukan nabi penebus keadilan.
Shanto Adi P/Editor