BATAS ETIKA, MORAL DAN ATURAN PENGURUS SP/SB MERANGKAP JABATAN DI PERUSAHAAN

(IHINEWS) Karawang 14/05/2025, Kita mungkin sering mendengar isu tentang adanya pengurus Serikjat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) baik yang berada di Tingkat perusahaan maupun di tatanan Federasi yang memegang jabatan tertentu, baik sebagai penasihat maupun sebagai eksekutif di sebuah Perusahaan. Tentu saja, masalah ini ditelaah lebih dalam akan melibatkan pertimbangan moral, etika, dan peraturan yang kompleks. Di bawah ini adalah analisis terstruktur:

Batas moral

  1. Konflik Loyalitas : Tugas moral utama seorang pemimpin serikat adalah untuk mengadvokasi hak -hak pekerja (upah yang adil, kondisi yang aman). Memegang peran Perusahaan berisiko memprioritaskan kepentingan perusahaan (mis., Keuntungan, pemotongan biaya) daripada kesejahteraan pekerja, merusak kepercayaan dan solidaritas.
  2. Erosi kepercayaan : Pekerja dapat menganggap pemimpin mereka sebagai dikompromikan, melemahkan legitimasi serikat pekerja. Integritas moral menuntut kesetiaan yang tidak terbagi kepada tenaga kerja.
  3. Potensi eksploitasi : Peran ganda dapat memungkinkan manipulasi, seperti menekan perbedaan pendapat atau kebobolan persyaratan yang tidak menguntungkan untuk memberi manfaat bagi perusahaan.

 

Batas etis

  1. Konflik kepentingan : Kode etika (profesional atau organisasi) biasanya membutuhkan transparansi dan penghindaran konflik. Pemimpin serikat harus mengungkapkan peran dan mengundurkan diri dari keputusan di mana ketidakberpihakan mereka dikompromikan.
  2. Merongrong tawar -menawar kolektif : Secara etis, para pemimpin serikat harus mempertahankan kemandirian untuk bernegosiasi secara adil. Peran ganda berisiko negosiasi bias, melanggar prinsip -prinsip keadilan dan perwakilan pekerja.
  3. Informasi orang dalam : Akses ke data perusahaan rahasia (misalnya, Keuangan, strategi) dapat disalahgunakan untuk melemahkan tuntutan pekerja, melanggar standar etika kerahasiaan dan keadilan.

 

Peraturan Hukum

Di Indonesia, tidak ada peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit melarang pengurus serikat buruh untuk bekerja sebagai penasihat atau eksekutif di perusahaan yang sama. Namun, ada beberapa ketentuan dan prinsip yang perlu diperhatikan terkait potensi konflik kepentingan:

  1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh:
  • Pasal 15: Menyatakan bahwa pekerja/buruh yang menduduki jabatan tertentu di dalam satu perusahaan dan      jabatan itu menimbulkan pertentangan kepentingan antara pihak pengusaha dan pekerja/buruh, tidak boleh      menjadi pengurus serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan yang bersangkutan.
  • Penjelasan pasal ini tidak secara spesifik menyebutkan jabatan penasihat atau eksekutif. Namun, jika jabatan    tersebut dinilai memiliki potensi konflik kepentingan, maka pekerja yang bersangkutan dapat dilarang             menjadi pengurus serikat di perusahaan tersebut.
  • Prinsip Independensi Serikat: Undang-undang ini menekankan prinsip kemandirian dan kebebasan serikat        pekerja dari campur tangan pengusaha. Perangkapan jabatan yang signifikan dapat berpotensi mengganggu      independensi serikat.

2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan:

Undang-undang ini tidak secara khusus mengatur mengenai perangkapan jabatan pengurus serikat dengan                  posisi di manajemen perusahaan. Namun, semangat dari undang-undang ini adalah untuk menciptakan                        hubungan industrial yang harmonis dan berkeadilan, yang dapat terganggu jika terjadi konflik kepentingan.

3. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Serikat: AD/ART serikat buruh dapat memiliki                     aturan internal yang mengatur atau membatasi anggotanya untuk menduduki jabatan di manajemen                             perusahaan.

4. Perjanjian Kerja Bersama (PKB): Dalam PKB antara serikat buruh dan perusahaan, dapat diatur mengenai                   batasan atau persyaratan bagi pengurus serikat untuk menduduki jabatan di perusahaan.

 

Implikasi dan solusi

  1. Risiko : Loyalitas terbagi, kekuatan tawar -menawar yang melemah, dan tantangan hukum jika konflik melanggar hukum perburuhan.
  2. Manfaat (teoretis) : peningkatan komunikasi dan mediasi, meskipun jarang tanpa perlindungan yang kuat.
  3. Transparansi : Pengungkapan wajib peran ganda kepada pekerja dan regulator.
  4. Mekanisme penolakan : Hindari partisipasi dalam keputusan yang mempengaruhi negosiasi perusahaan serikat pekerja.
  5. Kejelasan Hukum : Buat undang-undang untuk melarang peran tersebut atau menetapkan pengawasan (misalnya,  Audit independen, badan resolusi konflik).
  6. Norma Budaya : Mempromosikan model tata kelola serikat yang memprioritaskan otonomi pekerja daripada kolaborasi perusahaan.

Kesimpulan

Sementara peran ganda mungkin secara teoritis menumbuhkan kerja sama, mereka secara inheren berisiko mengkompromikan misi serikat. Imperatif moral dan etis menuntut batasan yang ketat, sementara kerangka hukum harus membatasi peran tersebut atau menegakkan perlindungan yang ketat untuk melindungi kepentingan pekerja. Prioritas harus selalu melestarikan kemerdekaan serikat pekerja dan kepercayaan para anggotanya.

Shanto Adi P/Editor

5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Aning
Aning
29 days ago

Kereeen ,,,
Jarang sekali berita seperti ini, karena adanya pamakluman-pemakluman dari sekelompok oknum pengambil keuntungan.