(IHINEWS) Karawang 29/04/2025, Rencana pembentukan Koperasi Merah Putih tentu memunculkan berbagai perspektif. Di satu sisi, semangat gotong royong dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang mendasari koperasi sangatlah mulia dan relevan dengan cita-cita kemerdekaan. Gagasan untuk memperkuat ekonomi masyarakat melalui wadah koperasi, apalagi dengan embel-embel “Merah Putih” yang membangkitkan nasionalisme, bisa jadi daya tarik tersendiri. Pemerintah mungkin melihat ini sebagai langkah strategis untuk pemerataan ekonomi dan mengurangi ketimpangan.
Namun, kita tidak bisa menutup mata terhadap catatan kelam sejarah perkoperasian di Indonesia. KUD pada masa Orde Baru, yang awalnya juga bertujuan mulia untuk mensejahterakan petani dan masyarakat desa, sayangnya banyak yang berakhir dengan kegagalan. Beberapa faktor penyebabnya antara lain adalah manajemen yang kurang profesional, intervensi politik yang kuat, kurangnya transparansi dan akuntabilitas, serta ketergantungan yang berlebihan pada kebijakan pemerintah. Alih-alih menjadi wadah pemberdayaan, KUD di beberapa tempat justru menjadi alat kekuasaan atau lahan korupsi.
Melihat ke belakang, pertanyaan krusial yang muncul adalah: pelajaran apa yang bisa dipetik dari kegagalan KUD? Apakah pemerintah telah mengidentifikasi akar permasalahan yang menyebabkan banyak koperasi di masa lalu tidak berdaya? Jika Koperasi Merah Putih ini tidak dirancang dengan tata kelola yang kuat, independen dari kepentingan politik, transparan dalam operasionalnya, dan melibatkan partisipasi aktif anggotanya, maka potensi untuk mengulang kesalahan yang sama sangatlah besar.
Keberhasilan sebuah koperasi sangat bergantung pada prinsip-prinsip dasarnya: keanggotaan sukarela dan terbuka, pengendalian demokratis oleh anggota, partisipasi ekonomi anggota, otonomi dan independensi, pendidikan, pelatihan, dan informasi, kerja sama antar koperasi, serta kepedulian terhadap komunitas. Jika Koperasi Merah Putih mampu mengimplementasikan prinsip-prinsip ini secara konsisten dan profesional, didukung oleh regulasi yang tepat dan pengawasan yang efektif, maka bukan tidak mungkin cita-cita untuk memberdayakan ekonomi masyarakat melalui koperasi dapat terwujud.
Sebaliknya, jika Koperasi Merah Putih hanya menjadi proyek simbolis tanpa fondasi yang kuat, rentan terhadap intervensi, dan tidak memberdayakan anggotanya secara nyata, maka kekhawatiran akan terulangnya kegagalan masa lalu sangat beralasan. Masyarakat tentu berharap pemerintah tidak hanya mengedepankan semangat nasionalisme dalam nama, tetapi juga keseriusan dan komitmen yang nyata dalam membangun koperasi yang sehat, mandiri, dan benar-benar bermanfaat bagi anggotanya.
Oleh karena itu, rencana pembentukan Koperasi Merah Putih harus dikawal dengan cermat. Transparansi dalam perencanaan dan implementasi, pelibatan ahli perkoperasian dan masyarakat sipil, serta mekanisme pengawasan yang ketat menjadi kunci untuk memastikan koperasi ini tidak hanya menjadi “macan kertas” atau mengulang jejak kelam pendahulunya. Kita berharap pemerintah benar-benar belajar dari sejarah dan mampu mewujudkan koperasi yang benar-benar “merah putih” dalam semangat dan pelaksanaannya, yaitu berpihak pada kepentingan rakyat dan bangsa.
Shanto Adi P/Editir