(IHINEWS) Jakarta 22/04/2025, Di balik gempita investasi industri nikel yang diklaim sebagai lompatan ekonomi bagi Sulawesi Selatan, sebuah ironi tengah menganga.
Puluhan buruh satu per satu disingkirkan dari tempat mereka menggantungkan hidup. PT. Huadi Wuzhou Nickel Industry, bagian dari jaringan industri besar Huadi Group di Kabupaten Bantaeng, kembali mencatatkan sejarah kelam: pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 15 buruh pada April 2025.
Jumlah itu menambah daftar panjang korban dari kawasan industri tersebut. Sejak akhir Desember 2024, PHK dilakukan secara bertahap, 19 buruh dipecat pada Desember, 15 buruh menyusul pada Januari, 24 buruh lagi pada Maret, dan kini 15 buruh tambahan. Total, 73 buruh kehilangan pekerjaan dalam kurun waktu empat bulan.
Salah satunya adalah Muhammad Awaluddin, yang telah bekerja lebih dari tiga tahun.
“Saya merasa dirugikan oleh PHK ini. Saya masih punya banyak tanggungan. Saya tidak ingin diberhentikan,” keluhnya saat ditemui
Namun masalah para buruh bukan hanya pada pemecatan. Selama bekerja pun, perlakuan yang diterima jauh dari layak.
Mereka dipaksa bekerja hingga 12 jam sehari dengan sistem shift lima kali seminggu—60 jam dalam sepekan.
Angka yang jelas melanggar ketentuan perundang-undangan, yang membatasi jam kerja hanya 40 jam seminggu.
Ironisnya, upah lembur sebagai hak yang melekat pada kelebihan waktu kerja kerap diabaikan oleh perusahaan.
“PHK seharusnya menjadi langkah terakhir. Perusahaan dan pekerja wajib berupaya mencegahnya, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan,” tegas Hasbi Assidiq, Koordinator Bidang Ekosob LBH Makassar.
Praktik PHK sepihak dan pelanggaran jam kerja ini seolah mencerminkan karakter industri ekstraktif yang rakus dan abai. Di satu sisi, mereka menggerus lingkungan lewat polusi udara, bau menyengat, hingga kebisingan yang mengganggu kenyamanan warga. Di sisi lain, mereka mencabut hak hidup buruh dengan cara yang sewenang-wenang.
Beban ekologis dan sosial kini berpadu menjadi tekanan tak tertanggungkan bagi warga Bantaeng.
“Warga tidak hanya kehilangan udara bersih, tapi juga penghidupan. Ini adalah bentuk ketidakadilan berlapis yang tak bisa ditoleransi,” kata Junaedi Hambali dari Balang Institut.
Ia mendesak pemerintah dan penegak hukum untuk tidak tinggal diam. Evaluasi menyeluruh terhadap aspek ketenagakerjaan dan lingkungan mesti dilakukan. Dan lebih dari itu, negara harus menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat, bukan pada modal.
Sementara itu, di desa-desa sekitar kawasan industri, suara-suara kecewa mulai bergema. Kabar PHK menyebar cepat, disambut rasa waswas dan kekhawatiran akan nasib para buruh.
Shanto Adi P/Editor