MELINDUNGI SEGENAP WARGA NEGARA ADALAH RETORIKA KOSONG

(IHINEWS) Karawang 09/05/2025, Kematian Marsinah, buruh perempuan dan aktivis serikat pekerja yang ditemukan tewas dengan tanda kekerasan pada 8 Mei 1993 di Nganjuk, Jawa Timur, bukan sekadar kasus kriminal biasa. Tragedi ini menjadi simbol kegagalan negara dalam melindungi hak konstitusional warga, terutama hak hidup (Pasal 28I UUD 1945) dan hak berserikat (Pasal 28E UUD 1945). Marsinah dibunuh setelah memimpin protes buruh PT Catur Putra Surya (CPS) yang menuntut kenaikan upah dan perbaikan kondisi kerja. Kematiannya mencerminkan bagaimana negara absen melindungi rakyatnya dari kekerasan struktural, bahkan diduga terlibat dalam upaya pemberangusan suara kritis.

1. Konteks Pelanggaran Hak Konstitusional

a. Hak Hidup (Pasal 28I UUD 1945) : Negara wajib menjamin hak hidup setiap warga, termasuk perlindungan dari kekerasan. Marsinah tewas setelah diculik, disiksa, dan dibunuh oleh pihak tak dikenal. Tidak adanya kejelasan hukum dalam penyelidikan kasus ini menunjukkan pengabaian negara terhadap kewajiban konstitusionalnya.

b. Hak Berserikat (Pasal 28E UUD 1945) : Marsinah tewas karena memperjuangkan hak buruh untuk berorganisasi dan menuntut keadilan upah. Alih-alih melindungi, negara melalui aparatusnya (militer dan polisi) pada era Orde Baru kerap menjadi alat represi terhadap gerakan buruh.

2. Negara dan Kekerasan Terstruktur

a. Keterlibatan Aparat : Laporan Komnas HAM (2013) menyebutkan bahwa Marsinah diduga menjadi korban pelanggaran HAM berat dengan melibatkan aktor negara. Beberapa mantan personel militer dan polisi disebut terlibat dalam penyiksaan, tetapi proses hukum terhambat oleh “missing files” dan tekanan politik.

b. Kultur Impunitas : Hingga kini, kasus Marsinah belum tuntas. Pihak yang bertanggung jawab tidak diadili, sementara keluarga Marsinah terus menuntut keadilan. Impunitas ini membuktikan negara tidak serius menegakkan hukum, terutama ketika pelaku adalah elemen negara sendiri.

3. Marsinah sebagai Cermin Represi Sistemik

a. Pembungkaman Kritik : Marsinah dibunuh di era Orde Baru, rezim yang menormalisasi kekerasan terhadap aktivis. Kasusnya bukan insiden tunggal, melainkan bagian dari pola represi terhadap gerakan buruh, mahasiswa, dan kelompok marginal.

b. Warisan Represi yang Berlanjut : Meski rezim Orde Baru tumbang, praktik kriminalisasi aktivis buruh masih terjadi. Contoh: UU Cipta Kerja (2020) dinilai melemahkan posisi buruh, sementara kekerasan terhadap serikat pekerja tetap marak (misalnya kasus pembunuhan buruh PT Kizone pada 2012).

4. Dampak Sosial dan Politik

a. Ketakutan Kolektif : Kematian Marsinah menciptakan trauma di kalangan buruh, terutama perempuan, untuk bersuara. Data Solidaritas Perempuan (2022) menunjukkan 65% buruh perempuan enggan bergabung dengan serikat pekerja karena takut dipecat atau diancam.

b. Erosi Kepercayaan pada Negara : Ketidakmampuan negara mengusut tuntas kasus Marsinah menguatkan persepsi bahwa hukum hanya berpihak pada penguasa dan pemodal. Hal ini merusak legitimasi negara sebagai penjaga konstitusi.

5. Respons Negara yang Minim

a. Pengadilan Semu : Proses hukum kasus Marsinah hanya mengadili 10 tersangka tingkat rendah, sementara otak intelektual di balik pembunuhan tidak tersentuh. Vonis ringan (1,5–4 tahun penjara) untuk pelaku memperlihatkan ketidakadilan sistem peradilan.

b. Pemanfaatan Narasi “Kasus Tertutup” : Pemerintah kerap mengklaim kasus Marsinah adalah “pelanggaran HAM masa lalu” yang sulit diusut, padahal tuntutan keluarga dan aktivis untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc terus mengemuka.

Kesimpulan

Kematian Marsinah bukan sekadar tragedi individu, melainkan bukti nyata bahwa negara gagal menjadi penjaga hak hidup dan kemerdekaan rakyatnya. Negara justru menjadi aktor yang membiarkan atau dalam beberapa kasus terlibat dalam kekerasan sistematis terhadap warga yang kritis. Hingga kini, impunitas dalam kasus Marsinah mencerminkan sikap negara yang lebih memilih melindungi kepentingan kekuasaan daripada memenuhi mandat konstitusi. Selama keadilan bagi Marsinah dan korban pelanggaran HAM lain belum ditegakkan, janji konstitusi tentang “melindungi segenap bangsa Indonesia” tetap merupakan retorika kosong.

Shanto Adi P/Editor

5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments