URGENSI ATURAN TURUNAN JAMINAN PENSIUN BPJS KETENAGAKERJAAN

(IHINEWS) Karawang 15/05/2025, Program Jaminan Pensiun (JP) BPJS Ketenagakerjaan merupakan salah satu bentuk perlindungan sosial untuk memastikan kesejahteraan pekerja di masa tua. Namun, implementasinya masih memerlukan penguatan melalui aturan turunan yang lebih komprehensif. Berikut analisis urgensi dan rekomendasi pengembangan regulasi:

  1. Kebutuhan Kepastian Hukum dan Penyesuaian Iuran

Aturan turunan seperti Peraturan Pemerintah (PP) atau Perpres diperlukan untuk menjamin kepastian hukum bagi peserta, terutama terkait besaran iuran dan skema Program Bantuan Iuran (PBI). Saat ini, besaran iuran JP ditetapkan sebesar 3% dari upah bulanan (2% ditanggung perusahaan, 1% oleh pekerja). Namun, PP No. 45/2015 menyatakan bahwa evaluasi iuran harus dilakukan setiap 3 tahun dengan penyesuaian bertahap menuju 8% . Aturan turunan diperlukan untuk mengatur mekanisme transparan dalam penyesuaian ini, termasuk mitigasi dampak inflasi dan perubahan ekonomi.

  1. Perluasan Cakupan ke Pekerja Informal

Ombudsman RI menekankan pentingnya regulasi khusus untuk pekerja informal, yang masih sulit terjangkau program JP. Hanya 40% pekerja yang terdaftar sebagai peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan. Rekomendasi Ombudsman termasuk pembuatan Surat Keputusan Bersama (SKB) antar kementerian untuk mengalokasikan anggaran PBI Jamsosnaker bagi pekerja informal, menggantikan skema bantuan tunai yang kurang berkelanjutan. Aturan turunan ini dapat mendorong inklusivitas, terutama bagi pekerja di sektor pertanian, UMKM, atau migran.

  1. Peningkatan Transparansi dan Akuntabilitas

BPJS Ketenagakerjaan telah berhasil meraih opini Wajar Tanpa Modifikasi (WTM) untuk laporan keuangan 2023, tetapi penguatan tata kelola tetap diperlukan. Aturan turunan harus mengatur sistem audit internal, mitigasi risiko penyuapan (sesuai sertifikasi ISO 37001:2016), serta mekanisme pengaduan peserta . Selain itu, perlu diperjelas tanggung jawab pemberi kerja yang lalai mendaftarkan pekerja, termasuk sanksi administratif dan denda .

  1. Penyesuaian Usia Pensiun dan Manfaat

Usia pensiun dalam JP saat ini bertahap meningkat dari 57 tahun (2019) hingga mencapai 65 tahun. Namun, aturan turunan perlu mempertimbangkan faktor harapan hidup, produktivitas pekerja lanjut usia, dan kesiapan dana pensiun. Misalnya, manfaat pensiun minimum Rp300.000/bulan perlu direvisi sesuai inflasi dan kebutuhan hidup layak. Selain itu, perlu diatur skema fleksibel untuk pensiun dini atau lanjutan kerja bagi yang memenuhi syarat.

  1. Sinergi dengan Program Jaminan Sosial Lainnya

JP harus terintegrasi dengan program lain seperti Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK). Misalnya, peserta JP yang mengambil sebagian dana JHT untuk kepemilikan rumah perlu diatur agar tidak mengganggu akumulasi iuran pensiun . Aturan turunan juga perlu mengantisipasi tumpang tindih klaim, seperti pensiun cacat yang memerlukan verifikasi medis ketat.

Rekomendasi Kebijakan

  1. Percepatan Penerbitan Perpres : Pemerintah perlu segera menerbitkan aturan turunan untuk mengakomodasi dinamika pasar tenaga kerja dan perlindungan pekerja rentan .
  2. Edukasi dan Sosialisasi : BPJS Ketenagakerjaan harus meningkatkan edukasi melalui platform digital dan kolaborasi dengan pemerintah daerah .
  3. Penguatan Database : Integrasi data peserta dengan sistem administrasi kependudukan untuk meminimalkan kesalahan verifikasi .

Kesimpulan

Aturan turunan JP BPJS Ketenagakerjaan bukan hanya tentang legalitas, tetapi juga menjawab tantangan demografis dan ekonomi Indonesia menuju 2045. Dengan regulasi yang adaptif, program ini dapat menjadi fondasi sistem jaminan sosial yang inklusif dan berkelanjutan.

Shanto Adi P/Editor

5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments