BATASAN USIA VS PENAMBAHAN LOWONGAN KERJA, KRITIK ATAS PERNYATAAN PENGUSAHA

Ilustrasi Job Fair

(IHINEWS) Karawang 19/05/2025, Pernyataan sejumlah pengusaha bahwa solusi mengatasi pengangguran adalah dengan menambah lowongan kerja, bukan menghapus batasan usia, mengundang kritik tajam. Argumentasi ini dinilai mengabaikan akar masalah struktural di pasar tenaga kerja Indonesia dan mencerminkan bias sistemik yang merugikan kelompok usia tertentu. Berikut uraian kritik atas pernyataan tersebut :

  1. Batasan Usia : Diskriminasi Sistemik yang Dianggap Wajar

Batasan usia dalam lowongan kerja (misal: maksimal 30-35 tahun) telah menjadi praktik umum di Indonesia, meski bertentangan dengan prinsip keadilan sosial dan hak konstitusional warga negara untuk bekerja. Data BPS (2023) menunjukkan bahwa 40% pengangguran di Indonesia berusia di atas 35 tahun, sebagian besar akibat persyaratan usia yang kaku.

Pengusaha kerap membenarkan batasan usia dengan alasan produktivitas, adaptasi teknologi, atau biaya asuransi kesehatan. Namun, penelitian ILO (2022) membuktikan bahwa **usia tidak berkorelasi langsung dengan kinerja**, sementara pengalaman dan soft skill justru meningkat seiring bertambahnya usia.

Dengan mempertahankan batasan ini, pengusaha secara tidak langsung **mengabsahkan diskriminasi** dan mengabaikan potensi tenaga kerja senior yang masih kompeten.

  1. Menambah Lowongan Kerja Bukan Solusi jika Sistem Rekrutmen Tidak Inklusif

Pernyataan pengusaha bahwa “lowongan harus ditambah, bukan batasan usia dihapus” mengandung paradoks. Penambahan lowongan tidak otomatis mengurangi pengangguran jika sistem rekrutmen tetap eksklusif. Contoh:

– Perusahaan membuka 1.000 posisi baru, tetapi 70% lowongan mensyaratkan usia di bawah 30 tahun.

– Sektor formal hanya menyerap 30% tenaga kerja, sementara 70% terserap di sektor informal dengan upah rendah dan tanpa jaminan sosial.

Artinya, **ketersediaan lapangan kerja tidak menjamin akses yang setara** bagi semua usia. Fokus pada kuantitas lowongan tanpa membenahi sistem rekrutmen hanya memperkuat ketimpangan.

  1. Dampak Sosial-Ekonomi Batasan Usia

Pemborosan Sumber Daya Manusia Berpengalaman : Tenaga kerja senior (40+ tahun) yang terampil sering terpaksa beralih ke sektor informal karena diskriminasi usia. Padahal, mereka bisa mentransfer keahlian ke generasi muda.

Beban Negara Meningkat : Pengangguran usia produktif (35-55 tahun) meningkatkan ketergantungan pada program bantuan sosial, seperti PKH atau BLT, yang dananya berasal dari pajak.

Stigma Negatif : Batasan usia memperkuat stereotip bahwa “usia tua = tidak kompeten”, yang merusak kepercayaan diri pekerja dan memicu depresi.

  1. Alasan Pengusaha: Antara Mitos dan Kepentingan Kapital

Pengusaha sering menggunakan narasi “efisiensi bisnis” untuk mempertahankan batasan usia, tetapi argumen ini perlu dipertanyakan:

Mitos Produktivitas : Banyak industri (seperti pendidikan, konsultan, atau kerajinan) justru membutuhkan kematangan dan pengalaman yang dimiliki pekerja senior.

Upah Murah vs Biaya Pelatihan : Perusahaan cenderung memilih fresh graduate atau pekerja muda yang bisa dibayar lebih rendah, meski biaya pelatihan ulang (jika turnover tinggi) justru lebih mahal.

Kepatuhan terhadap Standar Global : Perusahaan multinasional di negara maju (seperti Jepang atau Jerman) tidak menerapkan batasan usia ketat karena dianggap melanggar HAM.

  1. Solusi: Regulasi Inklusif dan Kesadaran Kolektif

Revisi UU Ketenagakerjaan : Pemerintah perlu melarang diskriminasi usia dalam rekrutmen, seperti diatur dalam Konvensi ILO No. 111 tentang Kesetaraan dalam Pekerjaan.

Insentif untuk Perusahaan Inklusif : Berikan tax allowance atau subsidi kepada perusahaan yang merekrut pekerja lintas generasi.

Edukasi Publik : Kampanye media massa untuk mendekonstruksi stigma negatif tentang pekerja senior.

Kritik terhadap Pernyataan Pengusaha

Pernyataan pengusaha tersebut mencerminkan logika kapitalistik jangka pendek yang mengorbankan keadilan sosial demi keuntungan sempit. Jika lowongan kerja hanya ditambah tanpa menghapus batasan usia, yang terjadi adalah :

  1. Pengangguran usia produktif tetap tinggi.
  2. Perusahaan kehilangan peluang merekrut talenta berpengalaman.
  3. Negara terus menanggung beban ekonomi akibat pengucilan kelompok usia tertentu.

Kesimpulan

Masalah pengangguran tidak bisa diselesaikan hanya dengan “menambah kue lowongan kerja” jika sistem rekrutmen masih diskriminatif. Menghapus batasan usia bukan sekadar isu moral, melainkan strategi untuk membangun pasar tenaga kerja yang berkeadilan dan berkelanjutan. Tanpa perubahan paradigma ini, kebijakan penambahan lowongan hanya akan menjadi solusi semu yang menguntungkan segelintir pihak, tetapi mengabaikan hak dasar rakyat.

Shanto Adi P/Editor

5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments