DARI INEFISIENSI KE INTEGRASI: MENYELAMATKAN SISTEM JAMINAN SOSIAL INDONESIA UNTUK MASA DEPAN YANG LEBIH ADIL

RINGKASAN EKSEKUTIF

Kehadiran lima program jaminan sosial yang dilegitimasi oleh UU SJSN dan UU BPJS telah memberikan manfaat bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk pekerja Indonesia, empat program jaminan sosial telah dirasakan manfaatnya oleh para pekerja kita, khususnya pekerja swasta yang memang telah lama menikmati manfaat Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKm) dan Jaminan Hari Tua (JHT).

Program JKK dan JKm sejak 1 Juli 2015 sudah diwajibkan untuk melindungi ASN dan Non ASN, walaupun proses pengelolaannya yang dilaksanakan PT. Taspen telah melanggar beberapa regulasi seperti UU SJSN, UU BPJS, UU ASN dan Perpres No. 109 tahun 2013. Pemerintah membuat PP No. 70 Tahun 2015 junto PP No. 66 Tahun 2017 dan PP No. 49 Tahun 2018 yang memang bertentangan dengan regulasi di atas tersebut. Pelanggaran ini pun membuat inefisensi APBN dan APBD karena ada kelebihan bayar untuk program JKm sebesar 0,42% kepada PT. Taspen.

KPK telah mengingatkan adanya inefisiensi tersebut, sedikitnya Rp. 775 miliar per tahun yang terdiri dari kemahalan iuran ASN sebesar Rp. 529 miliar dan kemahalan dari iuran Non ASN sebesar Rp. 246 Miliar. Surat KPK kepada Presiden, dan beberapa Kementerian tetap untuk mengingatkan atas masalah ini belum juga direspon Pemerintah.

Masih banyaknya PNS yang belum mengetahui tentang JKK dan JKm yang dikelola PT. Taspen, dan hanya 17% responden PNS yang mengetahui kedua program ini di PT. Taspen menyebabkan PNS banyak menghadapi masalah ketika mengalami kecelakaan kerja dan kematian. Kehadiran Surat Edaran Direksi PT. Taspen nomor SE – 2 /DIR/2018 malah mepersulit klaim kecelakaan kerja dan kematian serta PAK kepada PT. Taspen, dan manfaatnya lebih rendah dari manfaat yang diberikan BPJS Ketenagakerjaan.

Rasio klaim JKK yang masih dibawah 10% membuktikan bahwa banyak ASN dan Non ASN yang belum mengetahui tentang program JKK. Dan rasio klaim JKm yang sangat tinggi yaitu di atas 100% membuktikan ketiadaan gotong royong sesuai prinsip SJSN yang akan menggangu keberlanjutan program JKm di PT. Taspen.

Berbeda dengan pelaksanaan JKK dan JKM di BPJS Ketenagakerjaan yang justru lebih baik dari manfaat JKK dan JKm di PT. Taspen, apalagi paska disahkannya PP No. 82 Tahun 2019. Dengan kepesertaan JKK dan JKm yang sudah mencapai 32 juta dan rasio klaim JKK sekitar 30,95% dan rasio klaim JKM sebesar 28,37%, dan kelolaan JKK yang sudah hampir mencapai Rp. 35 Triliun dan JKm sebesar Rp. 12 Triliun, membuktikan bahwa ketahanan dana JKK dan JKm adalah sangat baik dan menjamin keberlangsungan program semakin tinggi. Kegotongroyongan adalah kunci keberhasilan JKK dan JKm di BPJS Ketenagakerjaan, yang berbeda dengan pengelolaan di PT. Taspen.

Namun demikian adalah lebih sangat baik bila Pemerintah melaksanakan amanat Pasal 28 H ayat (3) UUD 19445, Pasal 17 UU SJSN dan Pasal 18 UU BPJS, yaitu mengimplementasikan JKK dan JKm untuk pekerja informal miskin yang memang diamanatkan juga sebagai subyek jaminan sosial. Mengingat tempat kerja yang sangat beresiko terjadinya kecelakaan kerja dan kematian, mayoritas responden pekerja informal miskin (87%) membutuhkan kedua program ini. Kondisi ekonomi yang lemah membuat 72% responden menyatakan tidak mampu bayar bila harus menjadi peserta mandiri untuk JKK dan JKm. Oleh karenanya 84% responden mengharapkan agar Pemerintah membayarkan iuran JKK dan JKm mereka kepada BPJS Ketenagakerjaan. Program JKK dan JKm bagi pekerja informal miskin ini pun akan sangat membantu defisit JKN dan membantu defisit APBN karena dana iuran yang Rp. 6,3 Triliun untuk 31 juta pekerja miskin kita minimal 50%nya akan ditempatkan di SBN.

Program JHT yang sangat membantu pekerja ketika mengalami PHK tentunya berharap dana mereka dikelola untuk mendapatkan imbal hasil yang lebih baik lagi. Namun dengan adanya PP No. 60 Tahun 2015 junto Permenaker No. 19 Tahun 2015 maka dana kelolaan JHT menjadi dana jangka pendek sehingga tidak maksimal mendukung kesejahteraan pekerja. SP SB telah meminta agar PP No. 60 Tahun 2015 junto Permenaker no. 19 Tahun 2015 segera direvisi dengan mensyaratkan pengambilan JHT minimal kepesertaan lima tahun.

Demikian juga dengan pengenaan pajak progresif bagi peserta yang mengambil dana JHT secara bertahap tentunya juga akan menurunkan tingkat kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Potongan pajak yang besar akan menurunkan manfaat dana JHT tersebut yang memang bisa mendukung permodalan pekerja untuk berwiraswasta atau mencari pekerjaan baru. Ketentuan pengenaan pajak progresif ini tidak diketahui 90% responden, dan banyak peserta yang akhirnya terjebak dengan Pasal 6 ayat (1) PP No. 68 Tahun 2009 dan Pasal 17 ayat (1) UU No. 38 Tahun 2008. Oleh karenanya pajak progresif untuk pencairan JHT secara bertahap harus dihapuskan.

Defisit JKN yang sangat besar pada tiap tahunnya menyebabkan Pemerintah melakukan beberapa upaya untuk menyelamatkan JKN. Salah satunya adalah dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan no. 141 Tahun 2018 yang salah satu isinya adalah mengharuskan BPJS Ketenagakerjaan membayarkan lebih dulu pekerja swasta yang diduga mengalami kecelakaan kerja. Tentunya dari sisi pembiayaan BPJS Ketenagakerjaan tidak mengalami masalah mengingat dana kelolaan yang besar dan rasio klaim terjaga, namun Permenkeu No. 141 Tahun 2018 tersebut melanggar ketentuan yang ada di PP No. 44 Tahun 2015 sehingga pelaksanaan Permenkeu tersebut menjadi ancaman bagi Direksi BPJS Ketenagakerjaan.

Untuk seluruh masalah di atas, ada beberapa usulan perbaikan yaitu pertama, segera diintegrasikannya JKK dan JKn ASN dan Non ASN ke BPJS Ketenagakerjaan agar seluruh pekerja Indonesia mendapatkan manfaat JKK dan JKm tanpa diskriminasi dan APBN dan APBD tidak membayar lebih mahal untuk JKM. Kedua, Pasal 6 ayat (1) PP No. 68 Tahun 2009 dan Pasal 17 ayat (1) UU No. 38 Tahun 2008 segera direvisi sehingga pengenaan pajak progresif untuk pengambilan JHT secara bertahap tidak dikenakan pajak progresif. Ketiga, Pemerintah segera mengimplementasikan JKK dan JKm untuk pekerja miskin informal, dan keempat, Permenkeu No. 141 tahun 2018 ditunda dulu hingga adanya regulasi baru di tingkat PP yang mengaturnya.

Jakarta, 15 Februari 2020
Institut Hubungan Industrial Indonesia (IHII)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments