DILEMA OJEK ONLINE, STATUS KERJA DAN PEMBAGIAN HASIL

(IHINEWS) Karawang 17/05/2025, Ojek online telah menjadi tulang punggung transportasi perkotaan di Indonesia, menyediakan layanan terjangkau dan efisien bagi masyarakat. Keberadaan platform seperti Gojek, Grab, atau Maxim tidak hanya merevolusi mobilitas tetapi juga menciptakan lapangan kerja bagi jutaan pengemudi. Namun, di balik kemudahan ini, tersimpan persoalan kompleks terkait status kerja dan keadilan pembagian pendapatan.

 

  1. Status Kerja: Antara Mitra Mandiri dan Pekerja “Tak Diakui”

Pengemudi ojek online diklasifikasikan sebagai mitra mandiri (independent contractor), bukan pekerja. Status ini membebaskan perusahaan dari kewajiban memberikan jaminan sosial, asuransi kesehatan, tunjangan, atau perlindungan tenaga kerja. Padahal, pengemudi sering kali bergantung penuh pada aplikasi untuk mendapatkan orderan, mirip dengan hubungan kerja tradisional. Tanpa status pekerja, pengemudi rentan terhadap pemutusan akses sepihak (deaktivasi akun) dan tidak memiliki kepastian penghasilan. Mereka juga menanggung risiko sendiri, seperti kecelakaan kerja atau biaya perawatan kendaraan.

 

2. Pembagian Hasil: Komisi Aplikator vs Biaya Operasional Pengemudi

Pembagian pendapatan antara pengemudi dan aplikator kerap memicu ketidakpuasan. Perusahaan umumnya mengambil komisi 15-25% dari setiap transaksi, belum termasuk potongan akibat promo atau diskon yang kerap dibebankan ke pengemudi.

Contoh : Jika tarif perjalanan Rp20.000, komisi aplikator (20%) adalah Rp4.000. Namun, jika ada diskon Rp5.000 untuk pelanggan, pengemudi mungkin hanya menerima Rp11.000 (Rp20.000 – Rp4.000 – Rp5.000).

Biaya Operasional: Pengemudi masih harus mengeluarkan biaya BBM, perawatan kendaraan, dan bahkan cicilan motor (jika tidak memiliki kendaraan sendiri). Akibatnya, pendapatan bersih bisa di bawah Upah Minimum Regional (UMR).

 

3. Insentif yang Tidak Menjamin Kesejahteraan

Perusahaan memberikan bonus atau insentif untuk memacu loyalitas, seperti target jam operasional atau jumlah order. Namun, target ini sering tidak realistis dan hanya dinikmati segelintir pengemudi. Misalnya, bonus Rp100.000 hanya diberikan jika pengemudi online selama 12 jam berturut-turut atau menyelesaikan 20 order/hari, kondisi yang sulit dicapai di daerah dengan persaingan ketat.

 

4. Ketimpangan Kekuasaan dalam Ekonomi Gig

Hubungan antara pengemudi dan aplikator sangat timpang. Aplikator mengontrol algoritma penentuan tarif, distribusi order, dan kebijakan tanpa transparansi. Pengemudi, di sisi lain, tidak memiliki ruang negosiasi. Upaya kolektif (seperti demonstrasi atau pembentukan serikat) sering dihadapkan pada risiko deaktivasi akun atau minimnya respons regulator.

 

5. Regulasi yang Setengah Hati

Pemerintah telah mengeluarkan regulasi seperti Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6/2023 yang mewajibkan aplikator memberikan perlindungan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM). Namun, aturan ini belum menyentuh akar masalah:

  1. Status hukum pengemudi tetap ambigu, sehingga hak cuti atau jaminan pensiun belum terpenuhi.
  2. Tarif dasar yang ditetapkan pemerintah (misal: Rp2.500/km) kerap tidak diikuti aplikator karena diskon atau promo yang masif.

 

6. Jalan Tengah: Mencari Keseimbangan antara Inovasi dan Keadilan

Untuk mengatasi dilema ini, diperlukan langkah komprehensif:

  1. Klasifikasi Ulang Status Kerja: Mengadopsi model pekerja hybrid yang memadukan fleksibilitas kerja dengan hak dasar seperti jaminan kesehatan dan negosiasi tarif.
  2. Transparansi Algoritma: Perusahaan wajib menjelaskan cara penetapan tarif, distribusi order, dan kriteria deaktivasi akun.
  3. Pembatasan Komisi: Regulasi komisi maksimal (misal: 15%) untuk memastikan pendapatan pengemudi layak.
  4. Pendirian Koperasi Pengemudi: Memungkinkan pengemudi mengelola platform alternatif berbasis komunitas dengan pembagian hasil lebih adil.

 

Kesimpulan

Ojek online adalah buah dari inovasi teknologi, tetapi jangan sampai kemajuan ini dibangun di atas ketidakpastian hidup pekerja. Kolaborasi antara pemerintah, perusahaan, dan asosiasi pengemudi diperlukan untuk menciptakan ekosistem yang manusiawi—di mana keadilan ekonomi tidak dikorbankan demi efisiensi pasar. Tanpa itu, gelombang protes dan keresahan sosial hanya akan terus berulang.

Shanto Adi P/Editor

5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments