PHK DAN PENGGANGGURAN TINGGI BOM WAKTU BAGI STABILITAS NEGARA

(IHINEWS) Karawang 17/05/2025, Gelombang PHK besar-besaran, seperti yang terjadi di sektor tekstil, manufaktur, dan startup, telah meningkatkan angka pengangguran hingga 16,16% pada kelompok usia muda (15-24 tahun). Dampaknya langsung terasa pada penurunan daya beli masyarakat. Bank Indonesia (BI) memperingatkan bahwa PHK massal mengurangi konsumsi rumah tangga, yang menyumbang 50-60% pertumbuhan ekonomi Indonesia. Contohnya, di Kabupaten Bogor, penurunan daya beli selama pandemi menyebabkan kontraksi ekonomi sebesar 5,32%. Ketika pendapatan hilang, masyarakat terpaksa mengandalkan sektor informal atau utang, memperparah ketimpangan ekonomi dan kemiskinan.

  1. Keresahan Sosial dan Ancaman “Lost Generation”

Pengangguran tinggi tidak hanya merusak ekonomi, tetapi juga memicu ketidakstabilan sosial. Data BPS (2025) menunjukkan 23,79% pemuda Indonesia masuk kategori NEET (tidak bekerja, tidak sekolah, tidak pelatihan), menciptakan potensi “lost generation” yang rentan terhadap kriminalitas dan radikalisme. Studi ILO (2022) mengonfirmasi korelasi antara pengangguran dengan peningkatan kekerasan dan protes buruh. Misalnya, PHK massal di sektor tekstil memicu demonstrasi buruh yang menuntut perlindungan hak kerja.

 

2. Melemahnya Kelas Menengah dan Stagnasi Pertumbuhan

Kelas menengah, yang menjadi tulang punggung konsumsi domestik, menyusut dari 57 juta (2019) menjadi 47,85 juta orang (2024). Penurunan ini mengancam stabilitas ekonomi karena kelas menengah adalah penggerak investasi dan inovasi. Ketika mereka kehilangan pekerjaan atau pendapatan, konsumsi barang sekunder dan tersier seperti properti atau Pendidikan terhambat, memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional.

 

3. Dampak Politik: Ketidakpercayaan Publik dan Krisis Legitimasi

PHK massal dan pengangguran tinggi berpotensi memicu ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Di Sulawesi Tengah, misalnya, gelombang PHK di sektor pertambangan akibat investasi asing yang tidak berkelanjutan memicu protes dan tuntutan redistribusi pembangunan. Riset The PRAKARSA (2025) menyebutkan bahwa ketidakpuasan sosial akibat pengangguran dapat mengganggu stabilitas politik, terutama jika diikuti oleh defisit demokrasi dan korupsi.

 

4. Solusi yang Diperlukan: Kolaborasi Multisektoral

Untuk mengatasi krisis ini, diperlukan langkah-langkah strategis:

  1. Peningkatan Keterampilan dan Reskilling : Pelatihan berbasis teknologi dan energi terbarukan dapat mengurangi kesenjangan kompetensi tenaga kerja.
  2. Reformasi Jaminan Sosial : Memperluas cakupan asuransi pengangguran dan bantuan keuangan sementara untuk mengurangi beban ekonomi pekerja yang diPHK.
  3. Diversifikasi Ekonomi : Mengalihkan fokus ke sektor berdaya tahan tinggi, seperti industri kreatif dan energi terbarukan, serta mendorong UMKM melalui digitalisasi.
  4. Penguatan Dialog Sosial : Kolaborasi tripartit (pemerintah, pengusaha, pekerja) untuk merancang kebijakan inklusif, termasuk penetapan tarif dasar yang adil dan transparansi algoritma distribusi kerja .

 

5. Ancaman Jangka Panjang: Ketahanan Nasional yang Rapuh

Jika tidak diatasi, PHK dan pengangguran tinggi akan menjadi “bom waktu” yang menggerogoti ketahanan nasional. Penurunan produktivitas, melemahnya daya saing global, dan defisit APBN akibat hilangnya penerimaan pajak adalah beberapa risikonya. Seperti diingatkan BI, stabilitas ekonomi hanya mungkin tercapai jika pemerintah mampu menjaga keseimbangan antara efisiensi pasar dan keadilan sosial.

Kesimpulan

PHK dan pengangguran bukan sekadar angka statistik, melainkan cerminan kegagalan sistemik dalam mengelola sumber daya manusia dan ekonomi. Tanpa intervensi tepat, Indonesia berisiko menghadapi spiral resesi, ketimpangan, dan disintegrasi sosial. Kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil menjadi kunci untuk memutus mata rantai krisis ini sebelum semuanya terlambat.

Shanto Adi P/Editor

5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments