Ilustrasi Lowongan Kerja
(IHINEWS) Karawang (20/05/2025), Dalam beberapa tahun terakhir, banyak perusahaan cenderung mengandalkan rekrutmen melalui orang dalam (employee referral) ketimbang membuka lowongan secara resmi. Fenomena ini menimbulkan pro-kontra, namun patut dikaji lebih dalam untuk memahami motivasi di baliknya serta dampaknya terhadap dinamika perusahaan dan pasar tenaga kerja.
Efisiensi dan Kepercayaan sebagai Faktor Utama
Alasan utama HRD memilih rekrutmen melalui orang dalam adalah efisiensi. Proses rekrutmen formal seringkali memakan waktu dan biaya yang besar, mulai dari iklan lowongan, penyaringan CV, hingga tes psikotes atau wawancara berlapis. Dengan memanfaatkan jaringan internal, HRD bisa menghemat waktu karena kandidat yang direferensikan karyawan cenderung telah melalui “pra-seleksi” informal. Pekerja yang merekomendasikan biasanya mempertimbangkan kesesuaian kandidat dengan budaya perusahaan, sehingga mengurangi risiko ketidakcocokan di kemudian hari.
Selain itu, faktor kepercayaan juga berperan. HRD mungkin lebih yakin dengan kualitas kandidat yang direkomendasikan pekerja karena adanya tanggung jawab moral dari perekomendasi. Misalnya, jika kandidat gagal berkinerja baik, reputasi pekerja yang mereferensikan bisa terdampak. Hal ini menjadi “jaminan tidak tertulis” yang sulit didapatkan dari rekrutmen terbuka.
Dampak Positif: Retensi dan Kohesi Tim
Kandidat hasil referral seringkali menunjukkan tingkat retensi lebih tinggi. Mereka cenderung lebih cepat beradaptasi karena telah mendapat gambaran tentang perusahaan dari rekan yang merekomendasikan. Iklim kerja juga lebih kohesif karena hubungan personal antar karyawan memperkuat kolaborasi tim. Contohnya, perusahaan startup kerap memanfaatkan referral untuk membangun tim inti yang solid dan berkomitmen tinggi.
Tantangan: Bias dan Minimnya Diversitas
Di balik efisiensinya, praktik ini berisiko memicu monokultur dalam perusahaan. Pekerja cenderung merekomendasikan orang dari latar belakang yang mirip (misalnya, almamater atau lingkaran pertemanan), sehingga perusahaan kehilangan kesempatan merekrut talenta berperspektif unik. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menghambat inovasi dan reproduksi bias sistemik, seperti dominasi gender atau etnis tertentu.
Isu nepotisme juga kerap mengemuka. Jika tidak dikelola transparan, rekrutmen melalui orang dalam bisa dianggap tidak adil oleh kandidat eksternal, merusak citra perusahaan sebagai meritokratis. Bahkan, karyawan internal pun mungkin merasa jenjang karier tidak terbuka lebar karena “jatah” posisi lebih banyak diisi melalui jaringan tertutup.
Menuju Keseimbangan: Rekrutmen Inklusif
Agar tidak terjebak dalam paradoks efisiensi vs keadilan, perusahaan perlu menerapkan kebijakan rekrutmen yang hibrid. Misalnya, mempertahankan program referral namun membatasi kuotanya (misal, maksimal 30% lowongan), sambil tetap membuka kanal resmi untuk menjaring kandidat dari beragam latar belakang. Pelatihan kesadaran bias bagi HRD dan manajer juga penting untuk memastikan kandidat referral dievaluasi secara objektif.
Penutup: Referensi Bukan Solusi Mutlak
Rekrutmen melalui orang dalam memang hemat sumber daya, tetapi bukan strategi tanpa risiko. Perusahaan harus bijak menimbang antara kepraktisan dan prinsip keadilan. Dalam pandangan penulis, sistem yang ideal adalah yang menggabungkan keunggulan referral (seperti kecepatan dan kecocokan budaya) dengan komitmen pada transparansi dan diversitas. Dengan demikian, perusahaan tidak hanya membangun tim yang kompeten, tetapi juga inklusif dan berintegritas.
Shanto Adi P/Editor