Ilustrasi Ijazah
(IHINEWS) Karawang (20/05/2025), Rencana Menteri Ketenagakerjaan yang akan mengeluarkan Surat Edaran yang melarang perusahaan menahan ijazah karyawannya mencerminkan langkah setengah hati dan kurang komitmen dalam melindungi hak pekerja.
Surat Edaran (SE) secara hierarki hukum tidak memiliki kekuatan mengikat seperti Peraturan Menteri (Permen) atau Undang-Undang. SE hanya bersifat imbauan administratif, sehingga perusahaan tidak memiliki kewajiban hukum untuk mematuhinya . Padahal, penahanan ijazah sering kali digunakan sebagai alat pemerasan oleh perusahaan untuk menekan pekerja, terutama di sektor informal dan buruh migran yang rentan .
Contoh nyata terlihat dalam kasus pekerja migran yang dipaksa menyerahkan dokumen pribadi kepada agen, tetapi pemerintah gagal memberikan perlindungan hukum kuat melalui regulasi . Jika Menteri Ketenagakerjaan serius, penerbitan Peraturan Menteri atau revisi UU Ketenagakerjaan akan lebih efektif menjerat pelaku dengan sanksi tegas.
Langkah ini sejalan dengan pola kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan solusi simbolis daripada transformatif. Misalnya, dalam kebijakan mudik 2025, diskon tol 20% hanya membantu pemudik bermobil pribadi, sementara 60% pemudik yang menggunakan transportasi umum tidak mendapat subsidi memadai .
Demikian pula, SE pelarangan penahanan ijazah hanya menjadi “tempelan” tanpa menyentuh akar masalah : ketimpangan relasi kuasa antara pekerja dan pengusaha. Hal ini memperlihatkan kecenderungan pemerintah menghindari konflik dengan korporasi, seperti terlihat dalam alokasi APBN 2025 yang lebih memprioritaskan proyek infrastruktur mewah daripada perlindungan sosial .
Pekerja informal, buruh migran, dan generasi muda yang baru lulus paling dirugikan. Data BPS 2025 menunjukkan tingginya pengangguran terdidik (5,52% lulusan universitas) akibat ketidaksesuaian sistem pendidikan dengan pasar kerja . Penahanan ijazah memperparah situasi ini karena menghambat mobilitas karier pekerja.
Kasus pekerja migran seperti Tari Sasha yang dipaksa bekerja di luar kontrak tanpa dokumen resmi menjadi bukti nyata bahwa tanpa regulasi kuat, praktik eksploitatif akan terus berulang. Pemerintah justru terkesan melindungi kepentingan korporasi melalui kebijakan ambigu .
Kebijakan setengah hati ini mencerminkan pendekatan teknokratis yang mengabaikan suara pekerja. Seperti diungkapkan dalam kritik terhadap sistem pendidikan, pemerintah sering kali terjebak dalam logika birokrasi dan angka statistik, alih-alih menyelesaikan masalah struktural .
Contohnya, SE pelarangan penahanan ijazah mungkin hanya mengejar target administratif “perlindungan pekerja” tanpa memastikan implementasinya di lapangan. Padahal, dalam kasus Omnibus Law, pemerintah terbukti menggunakan kekuatan represif untuk melindungi kepentingan elite, tetapi enggan menggunakan instrumen hukum progresif untuk melindungi pekerja.
Kebijakan setengah hati Menteri Ketenagakerjaan ini bukan hanya masalah legalitas, tetapi juga cerminan kegagalan negara dalam memenuhi mandat keadilan sosial. Sebagaimana kritik terhadap proyek infrastruktur megah yang mengorbankan kesejahteraan rakyat, penggunaan SE sebagai solusi parsial justru memperdalam ketidakpercayaan publik terhadap komitmen pemerintah dalam melindungi pekerja. Jika tidak diubah, praktik seperti ini akan terus melanggengkan eksploitasi dan mengikis makna dari filosofi “kerja sebagai hak asasi manusia”.
Shanto Adi P/Editor