Foto Istimewa
(IHINEWS) Karawang (03/06/2025) Wacana penghapusan tenaga kerja outsourcing yang digulirkan Presiden Prabowo menuai reaksi kompleks. Di balik retorika perlindungan pekerja dan kelangsungan usaha, tersembunyi kepanikan inti: ancaman eksistensial terhadap industri penyedia jasa alih daya yang telah menjadi raksasa ekonomi terselubung. Data menunjukkan ada 68.000 perusahaan outsourcing di Indonesia dengan 2,2 juta pekerja terdaftar secara formal, namun estimasi riil mencapai 12-15 juta pekerja atau hampir 50% tenaga kerja formal. Inilah jantung persoalan yang sering dikaburkan.
Sisi Gelap Bisnis Outsourcing: Rantai Profit di Atas Kerentanan
a. Model Bisnis Berlapis: Perusahaan outsourcing membangun keuntungan dengan menjadi perantara yang memotong upah pekerja. Mira Sonia (Ketua ABADI) mengakui perusahaan outsourcing menyediakan psikotes, rekrutmen, dan penggajian agar perusahaan pengguna tak perlu berinvestasi di infrastruktur SDM. Efisiensi ini berbiaya mahal: potongan gaji pekerja bisa mencapai 30%.
b. Ketergantungan Industri: Apindo secara gamblang menolak penghapusan dengan dalih “kebutuhan industri” dan “daya tarik investasi”. Argumen ini menguatkan tesis bahwa yang ditakutkan adalah kolapsnya bisnis penyedia jasa, bukan semata fleksibilitas perusahaan pengguna.
c. Struktur Monopoli Terselubung: Perusahaan besar sering membangun anak/cucu usaha outsourcing sendiri, menciptakan siklus rente ekonomi. Pekerja terjebak dalam jaringan ini tanpa akses ke perusahaan inti.
Retorika Perlindungan vs Realitas Eksploitasi
Para pengusaha menyatakan diri sebagai “penyelamat lapangan kerja”, terutama bagi pekerja berpendidikan rendah. Namun fakta berbicara lain:
a. Pekerja Terperangkap Abadi: Kisah dosen outsourcing di Jawa Timur yang bekerja 7 tahun tanpa kepastian kontrak dan upah tertunggak, atau pekerja berusia 50 tahun yang masih digaji UMR tanpa jenjang karier, membuktikan bahwa sistem ini justru melanggengkan kemiskinan terstruktur.
b. Hilangnya Tanggung Jawab: Ketika terjadi sengketa, perusahaan pengguna dan penyedia saling lempar tanggung jawab. Buruh kehilangan ruang advokasi karena hubungan kerja yang kabur.
c. Erosi Hak Dasar: Upah di bawah minimum, minim jaminan sosial, dan larangan berserikat menjadi pola umum. Outsourcing mengubah pekerja menjadi komoditas, bukan sumber daya manusia.
Reformasi vs Penghapusan: Jalan Tengah yang Tertutup
Industri penyedia jasa alih daya menawarkan “reformasi” sebagai solusi, namun menolak penghapusan. Padahal:
a. Pengawasan sebagai Ilusi: Usulan Apindo tentang “penguatan mekanisme pengawasan” mengabaikan fakta bahwa pelanggaran outsourcing terjadi karena desain sistemnya eksploitatif. Regulasi seperti PP No. 35/2021 telah gagal menjamin upah layak atau kontrak jelas.
b. Kontradiksi Global: Argumen bahwa negara maju mempertahankan outsourcing menyesatkan. Di Jepang dan Eropa, pekerja outsourcing mendapat gaji dan tunjangan setara pekerja tetap melalui serikat kuat dan sanksi tegas.
c. Hitungan Ekonomi Palsu: Kekhawatiran bahwa penghapusan akan meningkatkan biaya rekrutmen menutupi fakta bahwa biaya sosial eksploitasi (daya beli rendah, konflik industri, beban jaminan kesehatan) justru lebih besar.
Jalan Keluar: Melampaui Dikotomi Palsu
Solusi sesungguhnya terletak pada:
1. Dekonstruksi Model Bisnis: Menghapus praktik “perantara” dengan mewajibkan kontrak langsung perusahaan pengguna-pekerja. Peran penyedia jasa dialihkan ke pelatihan dan sertifikasi, bukan pengupahan.
2. Audit Nasional: Pemerintah harus memetakan perusahaan outsourcing yang sekadar “pemotong gaji” vs yang memberikan nilai tambah pelatihan.
3. Insentif Transisi: Perusahaan yang mengkonversi pekerja outsourcing menjadi tetap mendapat keringanan pajak. Sementara perusahaan outsourcing beralih fungsi menjadi penyedia jasa rekrutmen berbasis teknologi.
4. Sanksi Struktural: Menerapkan blacklist bagi perusahaan yang memecah unit kerja menjadi anak usaha untuk menghindari status pegawai tetap .
Penutup: Membongkar Topeng Neo-Feodalisme
Wacana penghapusan outsourcing bukan sekadar perdebatan kebijakan, tapi ujian bagi komitmen Indonesia melawan neo-feodalisme ekonomi. Industri penyedia jasa alih daya telah membangun kerajaan dengan menyandera dua pihak: pekerja yang dirantai ketidakpastian, dan perusahaan pengguna yang dibius janji efisiensi semu. Jika pemerintah serius mereformasi ketenagakerjaan, fokusnya harus pada pembongkaran oligarki jasa alih daya, bukan sekadar mengubah status pekerja. Sebab, tanpa memutus mata rantai profit dari kerentanan, upaya apa pun hanya akan melahirkan bentuk eksploitasi yang lebih canggih.
Shanto Adi P/Editor