Foto Istimewa
(IHINEWS) Karawang (23/05/2025), Kasus dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak sekadar persoalan dokumen akademik, tetapi mencerminkan fenomena “kebohongan terstruktur” yang kerap dipolitisasi untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan. Meskipun Bareskrim telah menutup kasus ini dengan menyatakan ijazah Jokowi asli , dinamika yang terjadi mengungkap pola sistematis dalam membangun narasi kebenaran sepihak, menekan kritik, dan memanipulasi kepercayaan publik.
Ijazah sebagai Simbol Legitimasi Politik
Klaim kepalsuan ijazah Jokowi bermula dari kecurigaan publik terhadap inkonsistensi teknis, seperti penggunaan font Times New Roman pada sampul skripsi yang dianggap tidak sesuai era 1980-an. Tuduhan ini dipolitisasi oleh pihak-pihak yang ingin menggoyang legitimasi kepemimpinan Jokowi, baik selama menjabat maupun pasca lengser.
Jokowi konsisten menolak memperlihatkan ijazah asli ke publik, bahkan dalam sidang PN Solo, kuasa hukumnya bersikeras bahwa permintaan tersebut “tidak perlu dipenuhi” . Sikap ini memicu spekulasi: apakah penolakan tersebut bagian dari strategi menjaga aura “kesederhanaan” atau justru upaya menghindari risiko eksposur kelemahan dokumen?.
UGM sebagai almamater Jokowi terlibat aktif membela keaslian ijazah, tetapi penolakan mereka untuk menampilkan dokumen asli dengan alasan perlindungan data pribadi memperkuat kesan ketertutupan. Padahal, transparansi bisa menjadi solusi cepat mengakhiri polemik.
Kebohongan Terstruktur: Dari Legal Intimidation hingga Distraksi Publik
Kasus ini menunjukkan bagaimana kekuasaan membentuk narasi melalui mekanisme hukum dan tekanan terhadap kritikus :
- Kriminalisasi Kritikus : Jokowi dan pendukungnya melaporkan puluhan pihak ke polisi dengan pasal pencemaran nama baik dan UU ITE, termasuk Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan podcaster Michael Sinaga yang diperiksa 50 pertanyaan hingga kelelahan. Pola ini mencerminkan upaya sistematis membungkam suara kritis melalui ancaman hukum.
- Distraksi dari Isu Substansial : Sebagian analis menilai kasus ijazah palsu sengaja dihidupkan untuk mengalihkan perhatian dari tuduhan korupsi dan nepotisme yang melibatkan keluarga Jokowi. Sementara publik sibuk memperdebatkan font skripsi, isu seperti skandal judi online Budi Arie atau krisis demokrasi pasca-revisi UU TNI tenggelam.
Masyarakat dalam Pusaran Ketidakpastian
Polemik ini menciptakan kebingungan publik, terutama karena penanganan kasus yang kontradiktif :
- Ketidakjelasan Hukum : Meski Bareskrim menyatakan ijazah Jokowi autentik setelah uji forensik, penutupan kasus tidak serta merta menghapus keraguan. Misalnya, UGM hanya menyediakan salinan ijazah, bukan dokumen asli, dan penjelasan tentang font Times New Roman dianggap tidak memadai.
- Polarisasi Opini : Dukungan PDIP melalui Megawati yang menyindir, “Kalau betul, kasih aja” memperlihatkan bagaimana partai politik memanfaatkan isu ini untuk menjaga loyalitas basis. Di sisi lain, masyarakat terbelah antara percaya pada institusi versus skeptisisme terhadap elit.
Refleksi Sistemik : Ketika Kebenaran Dijadikan Komoditas Politik
Kasus Jokowi bukan fenomena unik. Di banyak negara, politisi menggunakan kebohongan terstruktur untuk membangun citra, seperti skandal plagiarisme di Jerman atau jual beli ijazah palsu di Kenya. Di Indonesia, pola serupa terlihat dari kasus ESEMKA mobil nasional yang dijanjikan Jokowi namun gagal diproduksi massal yang kini juga digugat di PN Solo.
Dampak terhadap Demokrasi :
- Erosi Kepercayaan Publik : Kontradiksi antara narasi resmi dan realitas merusak kepercayaan pada institusi pendidikan, penegak hukum, dan politik.
- Normalisasi Manipulasi : Jika kebohongan dianggap “biasa” selama tidak terbukti di pengadilan, budaya transparansi dan akuntabilitas semakin terpinggirkan.
- Pemiskinan Wacana Publik : Isu teknis (seperti font) dijadikan alat untuk menghindari debat substansial tentang kebijakan dan kinerja pemimpin.
Antara Penegasan Hukum dan Kebutuhan Transparansi
Penutupan kasus oleh Bareskrim mungkin memberi kepastian hukum, tetapi tidak serta merta memulihkan kepercayaan publik. Untuk mencegah kebohongan terstruktur menjadi budaya, diperlukan:
- Reformasi Sistem Pendidikan : Verifikasi ketat dokumen akademik pejabat publik dan akses terbuka ke arsip institusi.
- Revisi UU ITE : Menghentikan kriminalisasi kritik dan melindungi kebebasan berekspresi.
- Penguatan Peran Media : Investigasi mendalam terhadap kasus-kasus serupa tanpa tekanan politik.
Seperti dikatakan Megawati, “Kalau betul, kasih aja”. Namun, dalam sistem yang masih abu-abu, kejujuran sering kali bukan sekadar soal “memberi”, tapi juga “mau diuji.
Shanto Adi P/Editor