Foto Istimewa
(IHINEWS) Karawang (23/05/2025) Pemerintahmelalui Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer, gencar menyuarakan keberhasilan merekrut kembali ratusan mantan buruh PT Sritex yang terdampak PHK. Namun, narasi ini justru mengaburkan tanggung jawab utama terkait pembayaran pesangon, Tunjangan Hari Raya (THR), dan hak normatif lain yang belum diselesaikan.
Distraksi dari Kewajiban Utama: Pesangon yang Terkatung-katung
Meski Wamenaker menyatakan “ratusan eks buruh Sritex sudah bekerja kembali”, realitasnya hak dasar buruh seperti pesangon dan THR masih belum dibayarkan. Kurator Sritex, Nurma Sadikin, menegaskan bahwa pembayaran baru bisa dilakukan setelah aset perusahaan terjual—proses yang hingga 23 Mei 2025 belum tuntas.
- Alasan Kurator vs Janji Pemerintah : Pemerintah mengklaim telah memastikan komitmen pembayaran, tetapi kurator menunda dengan alasan rasional: “Bagaimana mau bayar kalau aset belum terjual?”. Ini menunjukkan kelemahan regulasi dalam memaksa perusahaan/kurator bertanggung jawab sebelum aset dilikuidasi.
- Hak Buruh vs Prioritas Politik : Narasi “pekerja telah direkrut kembali” lebih sering muncul di media ketimbang upaya konkret pencairan pesangon. Padahal, menurut data, 10.669 buruh Sritex kehilangan pekerjaan, dan hanya sebagian kecil yang terserap di pabrik baru.
Kontradiksi Tanggung Jawab: Antara Manajemen Lama dan Kurator
Wamenaker menegaskan bahwa tanggung jawab pembayaran pesangon berada di tangan manajemen lama Sritex . Namun, manajemen mengalihkan kewajiban ke kurator, sementara kurator menyatakan ketergantungan pada penjualan aset.
- Ketiadaan Sanksi Tegas : Tidak ada mekanisme hukum yang memaksa manajemen atau kurator untuk segera membayar hak buruh. Pemerintah hanya “mengawal” tanpa intervensi tegas, sehingga terkesan membiarkan proses hukum berlarut-larut.
- Penderitaan Buruh yang Diabaikan : PHK massal terjadi pada Februari 2025, bertepatan dengan bulan Ramadhan periode di mana kebutuhan finansial buruh meningkat. Namun, hingga Mei 2025, mayoritas masih menunggu pesangon.
Narasi Perekrutan Kembali : Solusi Semu atau Pencitraan?
Pemerintah mengklaim 8.000 eks buruh Sritex akan direkrut kembali melalui investor baru yang menyewa aset perusahaan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan :
- Skala Perekrutan Tidak Signifikan : Hanya ratusan yang telah bekerja, sementara ribuan lainnya masih menganggur.
- Ketidakjelasan Kontrak Kerja : Tidak ada transparansi mengenai status pekerjaan baru apakah kontrak tetap, upah, atau jaminan sosial. Wamenaker sendiri mengaku tidak tahu nama perusahaan baru yang merekrut.
- Fokus pada Aset, Bukan Manusia : Mekanisme penyewaan alat berat Sritex oleh investor lebih mengutamakan penyelamatan nilai aset ketimbang memastikan kesejahteraan buruh.
Dampak terhadap Kepercayaan Publik dan Demokrasi
Pengaburan isu pesangon melalui narasi optimistik “rekrutmen” berpotensi:
- Melemahkan Gerakan Buruh : Dengan menonjolkan “solusi cepat”, pemerintah meredam protes buruh yang seharusnya menuntut hak mereka.
- Menguatkan Budaya Impunitas Korporasi : Sritex terbukti melakukan korupsi kredit hingga Rp3,58 triliun , tetapi tanggung jawabnya dialihkan ke proses hukum yang lamban, sementara buruh menjadi korban utama.
- Mengikis Kewibawaan Institusi : Janji Wamenaker yang tidak diikuti tindakan nyata (misalnya, intervensi dana darurat untuk pesangon) memperlihatkan ketidakseriusan negara dalam melindungi hak pekerja.
Antara Transparansi dan Keadilan
Untuk mencegah pengaburan isu berkelanjutan, diperlukan:
- Audit Publik terhadap Aset Sritex : Transparansi proses pelelangan aset dan alokasi dana untuk pesangon.
- Sanksi bagi Manajemen dan Kurator : Jika terbukti menghambat pembayaran hak buruh, baik manajemen lama maupun kurator harus dijerat sanksi administratif/hukum.
- Pemutusan Hubungan Narasi Pencitraan : Pemerintah harus berhenti menggunakan angka “ratusan buruh direkrut” sebagai tameng, dan fokus pada laporan progres pembayaran pesangon.
Narasi “pekerja Sritex telah dipekerjakan kembali” adalah bentuk pengalihan isu yang sistematis. Pemerintah dan kurator gagal memprioritaskan penyelesaian hak buruh, sementara manajemen korup lolos dari pertanggungjawaban. Dalam jangka panjang, pola ini berisiko menormalisasi pelanggaran hak pekerja dan mengikis prinsip keadilan sosial yang dijamin konstitusi. Seperti diingatkan dalam kasus Sritex, “keberhasilan rekrutme tidak boleh menjadi alat untuk membungkam tuntutan keadilan.
Shanto Adi P/Editor