MENCARI SOLUSI MENGHADAPI BADAI PHK, ANTARA RETORIKA PEMERINTAH DAN JERITAN BURUH

Ilustrasi Istimewa

(IHINEWS) Karawang (2/06/2025) Gelombang PHK massal yang melanda Indonesia hingga Mei 2025 bukan sekadar angka statistik, melainkan bencana kemanusiaan yang menggerus sendi-sendi perekonomian rakyat. Dengan lebih dari 80.000 pekerja kehilangan mata pencaharian di akhir 2024, dan sektor tekstil, manufaktur, serta media menjadi episentrumnya, kita menyaksikan kegagalan sistemik dalam perlindungan tenaga kerja. Solusi yang ditawarkan pemerintah selama ini ibarat “menambal kapal bocor dengan plester” simbolis tanpa substansi memadai.

Akar Masalah PHK Massal: Lebih Dalam dari Sekadar Krisis Ekonomi

  1. Transformasi Digital vs Keterbelakangan SDM

Percepatan otomatisasi dan digitalisasi industri telah meminggirkan pekerja dengan keterampilan konvensional. Sayangnya, program reskilling pemerintah seperti Skillhub tidak menyentuh kebutuhan riil pasar kerja digital. Pelatihan dasar Microsoft Office tak cukup untuk bersaing di era AI.

  1. Kebijakan UMR yang Kontraproduktif

Kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) di kota-kota besar justru memicu eksodus industri ke daerah dengan upah lebih murah. PT Sritex Sukoharjo yang mem-PHK 8.504 pekerja adalah contoh nyata bagaimana kebijakan upah minim analisis mendorong efisiensi brutal.

  1. Iklim Investasi yang Keropos

Anggota DPR Rahmad Handoyo secara tegas menyoroti hubungan industrial yang tidak harmonis dan ketiadaan insentif fiskal bagi industri tekstil yang sekarat. Alih-alih mendorong investasi, beban regulasi justru membunuh daya saing .

Kegagalan Solusi Pemerintah: Dari Satgas PHK hingga Janji Kosong

a. Satgas PHK Tanpa Gigi

Pembentukan Satgas PHK yang dijanjikan pemerintah ibarat “harimau ompong”. Tak ada mekanisme penegakan hukum untuk menghukum perusahaan yang melakukan PHK sewenang-wenang, apalagi memastikan pesangon dibayar lunas.

b. RUU PPRT Tenggelam di Meja DPR

Padahal di pidato May Day-nya, Presiden berjanji RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) akan disahkan dalam 3 bulan. Nyatanya hingga akhir Mei 2025, RUU itu masih terjebak pembahasan awal.

c. Narasi Optimistis yang Menyesatkan

Pernyataan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto bahwa “PHK bukan masalah besar” dan “akan ada lapangan kerja baru”adalah bentuk pengingkaran realitas. Data menunjukkan Indeks Ekspektasi Konsumen merosot dari 140.8 ke 138.7, membuktikan masyarakat makin pesimis.

Solusi Nyata: Rencana Aksi Penting Buruh untuk Menuntut Perubahan

  1. Desakan Reformasi Sistem Jaminan Sosial
  1. Perluas cakupan BPJS Ketenagakerjaan untuk pekerja kontrak dan freelance yang rentan PHK.
  2. Terapkan asuransi pengangguran berbasis kontribusi seperti di negara OECD, bukan bantuan sosial tambal sulam.
  3. Dorong skema portabilitas hak pesangon antar-perusahaan agar pekerja tak kehilangan manfaat saat pindah kerja.
  1. Pemulihan Hak Korban PHK: Darurat Penegakan Hukum
  1. Pesangon menurut data yang ada hanya 70% tak dibayar tepat waktu. Karena itu perlu ada perubahan UU PPHI untuk membentuk Pengadilan ketenagakerjaan khusus. Selain itu perlu diberlakukan denda progresif apabila pengusaha tidak membayar pesangon tepat waktu.
  2. Semua pekerja baik formal maupun informal harus didaftarkan dalam program BPJS Ketenagakerjaan,
  3. Akses Pelatihan harus didapatkan, dan program pelatihan yang ada saat ini harus disesuaikan dengan kebutuhan pekerjaan yang ada, misalnya dengan pelatihan berbasis industry 4.0 seperti AI dan data science.
  1. Transformasi Model Bisnis: Dari Efisiensi ke Keadilan
  1. Insentif fiskal untuk industri padat karya: Pengurangan pajak bagi perusahaan yang mempertahankan karyawan >1.000 orang.
  2. Regulasi PHK sebagai opsi terakhir”: Wajibkan negosiasi tripartit (pemerintah-pengusaha-buruh) sebelum PHK massal.
  3. Dukung sektor informal: Berikan akses pembiayaan UMKM dan pelatihan manajemen untuk penyerapan tenaga kerja.

Membangun Solidaritas Baru: Beyond Demo Jalanan

  1. Gugatan Kolektif (Class Action) Korban PHK massal di satu perusahaan dapat mengajukan gugatan kolektif ke Pengadilan Hubungan Industrial. Kasus PT Yamaha Music Product Asia yang tutup bisa jadi preseden penting.
  2. Koalisi Buruh-Lembaga Profesional
  3. Kolaborasi serikat buruh dengan asosiasi profesi (seperti Ikatan Jurnalis Televisi) untuk advokasi sektoral. PHK massal jurnalis yang direspons Menkominfo Meutya Hafid bukti tekanan sistematis bisa bekerja.

Platform Digital “PHK Watch”

Membangun situs pelaporan real-time PHK massal, pemantauan pembayaran pesangon, dan peta bantuan hukum pro bono. Teknologi jadi alat perlawanan baru.

PHK Bukan Takdir, Melainkan Kegagalan Sistem

Badai PHK adalah ujian bagi kemanusiaan kita. Ketika 13.800 buruh tekstil terdampak PHK hanya karena efisiensi, atau jurnalis senior menahan tangis di layar kaca karena di-PHK, kita sedang menyaksikan krisis peradaban kerja. Solusi tak lagi bisa bertumpu pada retorika optimistis ala Airlangga Hartarto atau janji seremonial Satgas PHK. Butuh keberanian politik revolusioner: cabut aturan yang memberatkan industri tapi jangan korbankan buruh, alihkan anggaran fantastis proyek mercusuar untuk dana reskilling masif, dan jadikan UU Cipta Kerja sebagai tameng buruh bukan alat pemodal.

Shanto Adi P/Editor

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments