PENDAPATAN RAKYAT RENDAH MENANGGUNG HARGA DAN PAJAK TINGGI

Ilustrasi Istimewa

(IHINEWS) Karawang (02/06/2025) Di Indonesia, ada sebuah ironi yang kerap mengundang tanya, mengapa pendapatan rata-rata rakyat tergolong rendah, tetapi harga barang dan tarif layanan justru lebih mahal dibandingkan negara lain, bahkan di Asia Tenggara? Sementara pajak dan biaya hidup terus membebani, daya beli masyarakat semakin tertekan.

Pendapatan rata-rata rakyat Indonesia apabila berdasarkan Upah Minimum Provinsi (UMP) di berkisar Rp2–5 juta/bulan (tergantung daerah), sementara harga barang seperti smartphone, elektronik, atau mobil bisa 2-3 kali lipat lebih mahal daripada di Malaysia atau Thailand. Produk teknologi (misalnya laptop) di Indonesia terkena bea masuk hingga 20-30%, ditambah PPN 11%, sehingga harga akhirnya lebih tinggi 40-50% daripada di Singapura atau Amerika Serikat.

Tarif jalan tol Indonesia pun menjadi paling mahal diantara negara-negara ASEAN. Indonesia memiliki tarif tol rata-rata Rp 1.300 per kilometer, Singapura Rp 492/km, Malaysia Rp 492/km, Thailand Rp 440/km, Vietnam Rp 1.200/km dan Filipina Rp 1.050/km

Selain tarif dan harga barang, pajak pun di Indonesia bertumpuk dan membebani. Seperti kendaraan dikenakan PPnBM (Pajak Penjualan Barang Mewah) untuk mobil mewah bisa mencapai 40%, belum termasuk biaya registrasi tahunan (PKB) yang tinggi. Selain itu ada juga pajak progresif kendaraan yang tentu saja tambah memberatkan. Sistem perpajakan Indonesia masih memberatkan kelas menengah-bawah. Pajak penghasilan (PPh 21) untuk gaji Rp5 juta/bulan sudah dipotong 5%, sementara di Singapura, tarif 0% berlaku untuk penghasilan di bawah SGD20.000/tahun.

Harga BBM Indonesia pun lebih mahal dari pada Malaysia. Harga BBM Pertamax Rp 14.500/liter sementara RM 2.05 Rp7.000/liter karena terkena beban pajak dan subsidi yang tidak tepat sasaran. Padahal pendapatan rata-rata rakyat Malaysia lebih tinggi dari pada rakyat Indonesia.

Persoalan harga yang lebih mahal selain dikarenakan dikenakan pajak yang tinggi, terdampak pula karena biaya logistik yang mahal akibat infrastruktur yang buruk dan pungutan liar. Biaya transportasi di Indonesia lebih mahal 25 persen apabila dibandingkan dengan Vietnam. Selain itu Indonesia memberlakukan tarif impor tinggi untuk melindungi industri lokal, tetapi justru membuat harga barang impor (seperti susu, obat-obatan, atau sparepart) melambung.

Untuk mengatasi persoalan ini maka pemerintah seharusnya merevisi kebijakan tentang pajak, memangkas biaya logistic dengan memperbaiki infrastruktur, menghilangkan monopoli di sektor tol, penerbangan, dan energi untuk menciptakan harga yang kompetitif, mengalihkan subsidi BBM ke sektor produktif seperti transportasi umum atau UMKM untuk meningkatkan daya beli, meningkatkan upah minimum sehingga rakyat dapat meningkatkan daya belinya.

Paradoks pendapatan rendah, harga tinggi adalah buah dari kebijakan ekonomi yang tidak holistik. Jika Malaysia menjual BBM lebih murah dengan pendapatan per kapita lebih tinggi, Indonesia seharusnya mampu menciptakan sistem yang adil. Masalah ini bukan hanya tentang angka, tetapi tentang keberpihakan negara pada kesejahteraan rakyat. Tanpa keberanian mereformasi struktur ekonomi yang timpang, Indonesia akan tetap terjebak dalam lingkaran kemahalan yang menyengsarakan.

Shanto Adi P/Editor

5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments