MENGHAPUS OUTSOURCING BUKAN HAL TEKNIS YANG RUMIT, MELAINKAN MASALAH POLITIK

(IHINEWS) Karawang 05/04/2025, Outsourcing, atau alih daya, kerap disebut sebagai strategi efisiensi bisnis. Namun, di balik jargon korporasi tentang “fleksibilitas tenaga kerja”, praktik ini telah menjadi alat sistematis untuk memangkas hak buruh, memupuk ketidakpastian, dan memperlebar jurang ketimpangan. Ironisnya, negara sebenarnya memiliki kekuatan politik dan regulasi untuk menghapus sistem ini. Namun, keberpihakan pada kepentingan investasi seringkali mengubur komitmen melindungi hak-hak pekerja.

1. Outsourcing: Bukan Hanya Soal Efisiensi, Tapi Eksploitasi legal.

Outsourcing mengubah buruh menjadi komoditas murah yang bisa dipakai-dibuang. Buruh alih daya umumnya digaji lebih rendah daripada karyawan tetap, tidak mendapat jaminan kesehatan, pensiun, atau perlindungan PHK. Di sektor manufaktur, misalnya, buruh kontrak di pabrik otomotif bisa bekerja 5 tahun dengan status “tidak tetap”, padahal menjalani tugas sama seperti karyawan inti. Perusahaan bebas menghemat hingga 30% biaya tenaga kerja, sementara buruh terpenjara dalam siklus ketidakstabilan.

Contoh nyata terjadi di industri migas: buruh outsourcing di rig lepas pantai sering bekerja 12 jam/hari tanpa asuransi kecelakaan. Jika terluka, mereka dipecat tanpa kompensasi. Di Indonesia, sekitar 60% dari 120 juta angkatan kerja berstatus pekerja informal atau kontrak — sebagian besar adalah korban sistem alih daya.

2. Negara Punya Kewenangan, Tapi Mengapa Tak Bertindak?

Secara hukum, negara bisa menghapus outsourcing dengan tiga langkah konkret:

1. Mencabut Payung Hukum yang Melegalkan Outsourcing, seperti UU Ketenagakerjaan No. 13/2003 dan UU Cipta Kerja yang mengizinkan alih daya untuk pekerja “non-inti”.

2. Memaksa Perusahaan Menetapkan Status Permanen setelah masa kontrak tertentu (misalnya 1 tahun), sebagaimana diatur di Prancis dan Belanda.

3. Menghukum Perusahaan yang Melakukan Pemutusan Sepihak dengan denda progresif, seperti di Jerman, di mana PHK tanpa alasan jelas bisa berujung pada gugatan pidana.

Namun, pemerintah lebih memilih berkompromi dengan korporasi. UU Cipta Kerja justru memperluas ruang outsourcing dengan mengaburkan batas “pekerja inti dan non-inti”. Alasan klasiknya selalu sama: “menjaga iklim investasi”. Padahal, di Vietnam dan Thailand, pembatasan outsourcing tidak mengurangi minat investor asing.

3. Mitos “Mereka Tidak Bisa Jadi Pekerja Tetap”

Pemerintah dan pengusaha kerap berkilah: “Tidak semua pekerjaan cocok untuk sistem tetap”. Ini omong kosong. Di Jerman, bahkan pekerja kebersihan bandara memiliki status tetap dengan gaji layak dan tunjangan keluarga. Masalahnya bukan pada jenis pekerjaan, melainkan keserakahan perusahaan memaksimalkan profit dengan mengorbankan hak buruh.

Di sektor retail, perusahaan multinasional seperti Uniqlo di Jepang menghapus sistem kontrak pada 2020 setelah tekanan serikat buruh. Hasilnya, produktivitas justru naik 20% karena karyawan merasa aman dan termotivasi. Ini membuktikan bahwa kepastian kerja tidak bertentangan dengan efisiensi.

4. Dampak Sosial: Generasi yang Terjebak dalam Jerat Prekariat

Outsourcing melahirkan “generasi prekariat” — pekerja tanpa masa depan jelas. Mereka sulit mengakses KPR, tidak punya tabungan pensiun, dan rentan depresi akibat tekanan psikologis. Di Tiongkok, gelombang pemogokan buruh kontrak di Foxconn (produsen iPhone) memaksa perusahaan mengubah kebijakan pada 2022, tetapi di Indonesia, aksi protes serupa sering direspons dengan ancaman PHK.

Dampaknya meluas ke ekonomi makro: daya beli buruh kontrak yang rendah menghambat pertumbuhan sektor konsumsi. Ketika 70% ekonomi Indonesia ditopang konsumsi rumah tangga, mempertahankan sistem outsourcing sama saja merusak fondasi ekonomi sendiri.

5. Jika Negara Serius, Ini Langkah Nyata yang Bisa Diambil

1. Hapus Pasal-Pasal Outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan: Kembalikan semua pekerja ke status tetap setelah masa percobaan maksimal 3 bulan.

2. Perkuat Serikat Buruh: Di Brasil, serikat buruh berhasil memaksa perusahaan seperti Petrobras mengkonversi 15.000 pekerja kontrak menjadi tetap pada 2023.

3. Insentif Pajak untuk Perusahaan yang Stop Outsourcing: Berikan keringanan pajak bagi perusahaan yang mempekerjakan minimal 80% karyawan tetap.

4. Audit Nasional terhadap Perusahaan Pengguna Outsourcing: Publikasikan daftar perusahaan yang menggantungkan bisnisnya pada buruh kontrak, lalu beri sanksi reputasi.

Menghentikan outsourcing bukan hal teknis yang rumit, melainkan persoalan politik. Selama pemerintah lebih takut kehilangan investasi ketimbang kehilangan nyawa dan martabat buruh, sistem ini akan tetap menjadi kanker dalam ketenagakerjaan. Negara perlu memilih: menjadi pelayan korporasi atau pelindung rakyat.

Seperti kata Nelson Mandela, “Kemiskinan bukan takdir alam, melainkan hasil keputusan manusia. “Outsourcing adalah kemiskinan yang sengaja diciptakan dan hanya dengan keberanian politik, kita bisa mengakhirinya.

Shanto Adi P/Editor

5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments