(IHINEWS) Karawang 15/05/2025. Perbedaan data PHK yang dilaporkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), dan serikat buruh mencerminkan kompleksitas metodologi pengumpulan data, kepentingan politik-ekonomi, serta dinamika hubungan industrial di Indonesia. Berikut analisis faktor penyebab perbedaan tersebut:
- Perbedaan Metodologi dan Sumber Data
- Kemnaker : Data resmi pemerintah biasanya berasal dari laporan perusahaan dan dinas ketenagakerjaan daerah. Misalnya, pada 2025, Kemnaker mencatat 24.036 PHK hingga April 2025, sementara Apindo melaporkan 73.992 PHK berdasarkan peserta BPJS yang berhenti . Kemnaker mengklaim data mereka “terverifikasi”, tetapi proses pelaporan formal dari perusahaan sering terlambat atau tidak lengkap’
- Apindo : Data Apindo didasarkan pada penurunan keanggotaan BPJS Ketenagakerjaan, yang dianggap lebih objektif. Namun, angka ini mungkin tidak mencakup pekerja informal atau yang tidak terdaftar di BPJS.
- Serikat Buruh : Serikat seperti KSPI mengumpulkan data langsung dari laporan anggota. Misalnya, pada 2024, Partai Buruh mencatat 127.000 PHK di sektor tekstil, jauh di atas angka Kemnaker yang hanya 27.222. Mereka menilai perusahaan sering menyembunyikan PHK dengan memaksa pekerja mengundurkan diri atau tidak melaporkan ke pemerintah.
- Kepentingan Politik dan Ekonomi
- Kemnaker cenderung meminimalkan angka PHK untuk menjaga stabilitas citra pemerintah. Misalnya, pada 2024, Kemnaker berharap angka PHK tidak melampaui 64.000, meski prediksi ekonom menyebutkan 70.000.
- Apindo sebagai asosiasi pengusaha mungkin memiliki bias untuk menekankan tingginya PHK agar pemerintah memberikan insentif atau deregulasi. Contohnya, Apindo menyoroti kenaikan biaya produksi dan tekanan impor sebagai penyebab PHK.
- Serikat Buruh menggunakan data tinggi PHK untuk mengkritik kebijakan pemerintah, seperti UU Cipta Kerja yang dianggap memudahkan PHK. Mereka juga memperjuangkan hak pesangon dan penyerapan tenaga kerja.
- Regulasi dan Praktik Perusahaan yang Tidak Transparan
- Perusahaan sering menghindari pelaporan resmi PHK untuk menghemat biaya pesangon atau menghindari sanksi. Misalnya, kasus “silent layoff” di startup, di mana pekerja dipaksa mengundurkan diri tanpa status PHK formal.
- Perubahan regulasi seperti UU Cipta Kerja memperlonggar aturan kontrak kerja dan outsourcing, memungkinkan PHK tanpa prosedur ketat. Hal ini membuat data resmi Kemnaker tidak menangkap kasus PHK terselubung.
-4. Variasi Sektor dan Wilayah
- Kemnaker mencatat PHK tertinggi di sektor manufaktur (Jawa Tengah) dan jasa (Jakarta) , sementara serikat buruh fokus pada sektor padat karya seperti tekstil . Perbedaan fokus ini memengaruhi variasi data.
- Data Apindo mencakup seluruh Indonesia, tetapi tidak semua perusahaan anggota Apindo melaporkan PHK secara konsisten.
Data Mana yang Lebih Akurat?
Tidak ada jawaban absolut, karena masing-masing pihak memiliki konteks dan tujuan berbeda :
- Kemnaker : Data resmi tetapi cenderung *underreported* karena ketergantungan pada pelaporan perusahaan.
- Apindo : Lebih objektif dengan menggunakan data BPJS, tetapi terbatas pada pekerja formal.
- Serikat Buruh : Mengungkap kasus yang tidak tercatat, tetapi berpotensi overestimated karena bias advokasi.
Kesimpulan
Perbedaan data PHK adalah cerminan dari sistem pelaporan yang belum terintegrasi, konflik kepentingan, dan lemahnya transparansi perusahaan. Untuk mengurangi gap ini, diperlukan mekanisme verifikasi independen, seperti kolaborasi antara pemerintah, pengusaha, dan serikat buruh dalam pemantauan PHK, serta revisi regulasi yang menjamin akuntabilitas pelaporan. Tanpa itu, perdebatan data akan terus menjadi alat politik yang mengaburkan realita di lapangan.
Shanto Adi P/Editor