Ilustrasi PRT
(IHINEWS) Karawang 19/05/2025, Pernyataan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin yang menyatakan bahwa orang bergaji Rp5 juta “tidak pintar dan tidak sehat” menuai kontroversi karena dinilai menyederhanakan masalah kompleks kesenjangan ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Berikut narasi kritis yang membandingkan pernyataan tersebut dengan realitas ketenagakerjaan di Indonesia, serta peran negara dalam menyelesaikan masalah struktural:
- Pernyataan Menkes: Gaji sebagai Indikator Kesehatan dan Kecerdasan
Menkes Budi berargumen bahwa gaji Rp15 juta/bulan mencerminkan tingkat kesehatan dan kecerdasan yang lebih tinggi, sementara yang bergaji Rp5 juta “tidak mungkin” mencapai standar tersebut. Ia mengaitkan ini dengan target Indonesia sebagai negara berpendapatan tinggi pada 2045, dengan pendapatan per kapita US$14.000 (≈Rp15 juta/bulan).
Pernyataan ini mengabaikan faktor struktural seperti akses pendidikan yang tidak merata, kesempatan kerja terbatas, dan sistem upah yang timpang. Contohnya, pekerja sektor informal seperti PRT (Pekerja Rumah Tangga) sering menerima upah di bawah standar tanpa perlindungan sosial, meski memiliki keterampilan dan kesadaran kesehatan.
Kesehatan dan kecerdasan tidak bisa diukur secara linear dari gaji. Banyak pekerja bergaji rendah justru mengalami beban ganda : bekerja di sektor fisik berat dengan risiko kesehatan tinggi (misal: buruh pabrik) namun tetap tidak mampu membayar layanan kesehatan berkualitas.
- Realitas Upah di Indonesia: Kesenjangan dan Informalitas
Upah Minimum vs Kebutuhan Hidup : Upah Minimum Provinsi (UMP) di Yogyakarta (Rp2,1 juta) dan Jawa Tengah (Rp2 juta) jauh di bawah standar kebutuhan hidup layak. Kenaikan upah 6,5% pada 2025 (≈Rp138.000) dianggap tidak berarti karena inflasi dan kenaikan pajak (PPN 12%) menghabiskan tambahan pendapatan.
Saat ini 60% pekerja Indonesia berada di sektor informal dengan upah tidak tetap dan tanpa jaminan sosial. Contohnya, Pembantu Rumah Tangga, Ojol, buruh bangunan, dan lain-lain.
Selain itu ada ketidaksesuaian keterampilan, 80% lulusan perguruan tinggi bekerja di luar bidang studi mereka akibat kurikulum pendidikan yang tidak relevan dengan kebutuhan industri. Akibatnya, upah tetap rendah meski tingkat pendidikan tinggi.
- Peran Negara dalam Menyelesaikan Masalah
Pemerintah memiliki pekerjaan rumah yang harus segera dilakukan, yaitu :
- Reformasi Pendidikan dan Pelatihan : Pemerintah perlu memperbaiki kurikulum pendidikan vokasi yang selaras dengan kebutuhan industri (misal: digital marketing, analisis data) untuk meningkatkan daya saing pekerja.
- Penegakan Upah Layak: Perlunya harmonisasi upah sektor formal dan informal. SBIPT (Serikat Buruh Industri Pekerja Rumah Tangga) menuntut kesetaraan upah PRT dengan pekerja formal .
- Kebijakan Pro-Rakyat: Menghindari kebijakan yang memberatkan pekerja, seperti kenaikan PPN dan pembatasan subsidi BBM, yang justru menggerus daya beli .
- Akses Kesehatan Universal: Alih-alih menyalahkan individu, pemerintah harus memperluas cakupan BPJS Kesehatan dan program pencegahan penyakit (misal: skrining gratis) untuk mengurangi disparitas akses layanan kesehatan .
- Kontradiksi Kebijakan vs Visi 2045
Visi Indonesia Emas 2045 bertabrakan dengan kebijakan yang tidak mendukung peningkatan kesejahteraan pekerja. Contoh :
- Middle-Income Trap : Indonesia terjebak dalam ketergantungan tenaga kerja murah, sementara negara seperti Vietnam dan Bangladesh menawarkan upah lebih rendah untuk menarik investasi .
- Kesenjangan Ekonom : Laba perusahaan meningkat, tetapi upah pekerja stagnan. Misalnya, buruh pabrik di Yogyakarta hanya mendapat Rp2,1 juta/bulan, sementara harga sembako dan biaya hidup terus naik.
Kesimpulan
Pernyataan Menkes Budi mencerminkan pandangan elitis yang mengabaikan akar masalah struktural. Untuk mencapai visi 2045, pemerintah perlu:
- Memperbaiki sistem pengupahan dengan melibatkan serikat pekerja.
- Memprioritaskan pendidikan vokasi dan pelatihan keterampilan.
- Memperluas perlindungan sosial bagi pekerja informal.
- Menghindari kebijakan fiskal yang membebani kelas menengah-bawah.
Tanpa intervensi holistik, klaim “sehat dan pintar” hanya akan memperdalam stigma terhadap pekerja bergaji rendah, alih-alih menyelesaikan masalah ketimpangan yang sistemik.
Shanto Adi P/Editor