REFORMASI SISTEM PENSIUN PEJABAT NEGARA DEMI KEADILAN DAN EFISIENSI APBN

(IHINEWS) Karawang 17/05/2025, Di Indonesia, pejabat negara yang pernah menduduki berbagai jabatan seperti menteri, anggota DPR/DPD, gubernur, atau hakim kerap menerima pensiun berganda dari setiap posisi yang pernah diembannya. Misalnya, seorang mantan menteri yang pernah menjadi anggota DPR dan hakim Konstitusi berhak mendapatkan tiga sumber pensiun berbeda. Praktik ini menciptakan ketimpangan sosial yang tajam, mengingat mayoritas masyarakat hanya mengandalkan satu sumber pensiun (jika ada), seperti BPJS Ketenagakerjaan atau dana pensiun swasta yang nominalnya jauh lebih kecil.

 

  1. Beban APBN: Pensiun Pejabat vs Kebutuhan Publik

Pensiun berganda pejabat negara menjadi beban tersembunyi bagi APBN. Data Kementerian Keuangan (2023) menunjukkan bahwa anggaran pensiun pejabat tinggi negara mencapai Rp3,2 triliun/tahun, belum termasuk tunjangan kesehatan dan fasilitas lain. Angka ini setara dengan 30% anggaran Program Keluarga Harapan (PKH) untuk 10 juta keluarga miskin. Sementara itu, 60% lansia Indonesia tidak memiliki jaminan pensiun sama sekali (BPS, 2023). Ketika dana APBN “tersedot” untuk membiayai pensiun berganda elite, alokasi untuk layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur pedesaan justru kerap terpangkas.

 

 

2. Kontradiksi dengan Semangat Pelayanan Publik

Pejabat negara seharusnya mengutamakan pelayanan, bukan mengejar akumulasi benefit finansial. Pensiun berganda justru mengubah jabatan publik menjadi “investasi” untuk menjamin kemewahan di masa tua. Contoh nyata adalah mantan anggota DPR yang menerima pensiun hingga Rp30-50 juta/bulan, sementara guru honorer atau buruh harus puas dengan UMP Rp2-3 juta/bulan. Praktik ini tidak hanya tidak etis, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap integritas birokrasi.

 

 

3. Perbandingan dengan Negara Lain: Belajar dari Best Practice

Banyak negara telah mereformasi sistem pensiun pejabat untuk mencegah penyalahgaran keuangan negara. Di Swedia, pensiun pejabat disesuaikan dengan sistem pensiun universal berbasis kontribusi, tanpa privilege khusus. Di Korea Selatan, mantan presiden hanya menerima pensiun tunggal meski pernah memegang jabatan lain, dan nominalnya dibatasi maksimal 70% gaji pokok. Sementara di Indonesia, pensiun pejabat justru bisa melebihi gaji aktif mereka karena akumulasi dari berbagai jabatan.

 

 

4. Solusi Konkret: Menuju Sistem Pensiun Tunggal yang Adil

Untuk mengakhiri ketidakadilan ini, pemerintah perlu membuat regulasi yang tegas:

  1. Pensiun Tunggal Berbasis Jabatan Tertinggi : Pejabat hanya berhak menerima pensiun dari jabatan terakhir atau tertinggi yang diemban. Misalnya, jika seseorang pernah menjadi gubernur lalu menteri, pensiunnya hanya dihitung dari posisi menteri.
  2. Penghapusan Akumulasi Pensiun : Larangan menerima lebih dari satu pensiun negara, terlepas dari jumlah jabatan yang pernah dipegang.
  3. Plafon Maksimal Pensiun : Membatasi nominal pensiun pejabat maksimal 60% dari gaji pokok jabatan terakhir, seperti standar pensiun PNS biasa.
  4. Alihkan Dana ke Perlindungan Sosial Publik : Penghematan dari reformasi ini bisa dialokasikan untuk memperluas cakupan BPJS Ketenagakerjaan, meningkatkan dana pensiun lansia miskin, atau membiayai program padat karya.

 

 

5. Tantangan Politik: Elit yang Enggan Melepas Privilege

Reformasi ini pasti menghadapi resistensi dari kalangan elite politik yang diuntungkan oleh status quo. Contohnya, revisi UU Keuangan Negara tentang pensiun pejabat pada 2022 gagal karena tekanan dari koalisi partai di DPR. Diperlukan keberanian politik dan dukungan publik untuk mendorong perubahan. Transparansi data penerima pensiun pejabat dan kampanye kesadaran masyarakat bisa menjadi senjata untuk melawan oligarki birokrasi.

 

 

6. Penutup: Pensiun Bukan Hadiah, Melainkan Hak yang Proporsional

Pensiun pejabat negara harus dilihat sebagai bentuk apresiasi, bukan “upah” untuk loyalitas politik atau kekuasaan. Reformasi sistem pensiun bukan hanya soal penghematan APBN, melainkan komitmen untuk membangun tata kelola negara yang adil dan meritokratis. Jika pejabat ingin pensiun besar, biarlah itu berasal dari investasi pribadi atau kontribusi selama bekerja bukan dari uang rakyat yang dipaksakan melalui regulasi yang timpang. Saatnya Indonesia mencontoh prinsip public service is a public trust, di mana jabatan tak lagi menjadi mesin pencetak rente bagi segelintir orang.

 

 

Shanto Adi P/Editor

5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments