Foto Istimewa
(IHINEWS) Karawang (21/05/2025), Momen 21 Mei, hari mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan pada tahun 1998, selalu memicu perdebatan sengit di Indonesia. Bagi sebagian besar, tanggal ini adalah peringatan lahirnya kembali demokrasi dan berakhirnya rezim otoriter Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun. Namun, bagi sebagian kecil, terutama mereka yang nostalgia akan stabilitas dan pembangunan era Soeharto, tanggal ini mungkin diperingati dengan perasaan yang lebih campur aduk, bahkan duka.
Peringatan 21 Mei umumnya diwarnai dengan refleksi terhadap reformasi dan perjuangan penegakan hak asasi manusia. Aksi-aksi unjuk rasa, diskusi publik, dan seminar seringkali digelar untuk mengenang para korban pelanggaran HAM di era Orde Baru dan menuntut penyelesaian kasus-kasus tersebut. Media massa juga seringkali memuat liputan khusus yang mengulas kembali kronologi peristiwa 1998, analisis dampaknya terhadap Indonesia, dan wawancara dengan tokoh-tokoh reformasi.
Generasi muda, yang tidak mengalami langsung era Orde Baru, seringkali menjadi motor penggerak dalam peringatan ini. Mereka belajar dari sejarah, menyuarakan pentingnya demokrasi, kebebasan berekspresi, dan akuntabilitas pemerintah. Peringatan ini bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang menjaga nilai-nilai demokrasi di masa kini dan mendatang.
Wacana pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional telah beberapa kali muncul, namun selalu disambut dengan penolakan keras dari berbagai elemen masyarakat, khususnya aktivis HAM, korban Orde Baru, dan kelompok pro-demokrasi. Argumentasi utama penolakan ini didasarkan pada catatan kelam rezim Soeharto terkait pelanggaran HAM berat, seperti peristiwa 1965, Talangsari, Tanjung Priok, dan DOM Aceh serta Papua.
Selain itu, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela di bawah kepemimpinan Soeharto juga menjadi alasan kuat penolakan. Meskipun diakui ada pembangunan infrastruktur dan stabilitas ekonomi pada masanya, banyak yang berpendapat bahwa itu dibayar dengan harga yang mahal, yaitu hilangnya kebebasan sipil, pengekangan politik, dan kesenjangan sosial yang semakin melebar.
Perdebatan seputar Soeharto dan warisannya mencerminkan kompleksitas sejarah Indonesia.
Bagi pendukung penolakan: Soeharto tidak layak menjadi pahlawan nasional karena tindakan-tindakannya yang melanggar hak asasi manusia dan merusak tatanan demokrasi. Mengangkatnya sebagai pahlawan nasional dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap perjuangan reformasi dan pengabaian terhadap penderitaan jutaan korban. Mereka percaya bahwa pengakuan tersebut akan memutarbalikkan sejarah dan menghambat proses rekonsiliasi nasional yang adil.
Bagi sebagian kecil yang mendukung: Mereka berpendapat bahwa Soeharto berjasa dalam menjaga stabilitas dan memajukan ekonomi Indonesia setelah era yang bergejolak. Mereka mungkin berargumen bahwa sejarah harus dilihat secara utuh, dengan mempertimbangkan konteks dan tantangan pada masanya. Namun, argumen ini seringkali dianggap mengabaikan aspek-aspek gelap dari pemerintahannya.
Secara keseluruhan, peringatan 21 Mei dan penolakan Soeharto sebagai pahlawan nasional adalah cermin dari upaya masyarakat Indonesia untuk menghadapi masa lalu, belajar dari kesalahan, dan terus memperjuangkan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Ini adalah bagian integral dari narasi bangsa yang terus berkembang, di mana keadilan dan kebenaran sejarah menjadi landasan penting bagi masa depan.
Shanto Adi P/Editor