Foto Istimewa
(IHINEWS) Karawang (21/05/2025), Surat Edaran (SE) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang kerap digunakan oleh pemerintah dan lembaga negara untuk memberikan penjelasan, petunjuk, atau pemberitahuan terkait implementasi peraturan. Namun, kedudukan dan kekuatan hukumnya dalam hierarki peraturan perundang-undangan masih menjadi perdebatan. Berikut kedudukan SE berdasarkan konteks hukum Indonesia:
Kedudukan Surat Edaran dalam Hierarki Hukum
- Tidak Termasuk dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan
Menurut UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Surat Edaran tidak tercantum dalam hierarki resmi yang meliputi UUD 1945, UU/Perppu, PP, Perpres, hingga Perda. SE dianggap sebagai *beleidsregel* (aturan kebijakan) atau *pseudo wetgeving* (peraturan semu) yang bersifat administratif, bukan norma hukum mengikat.
- Fungsi Terbatas pada Penjelasan Teknis
SE bertujuan memperjelas atau mengoperasionalkan peraturan yang sudah ada, bukan menciptakan norma baru. Misalnya, SE Menteri Agama No. 5/2022 tentang pengeras suara di masjid hanya menjelaskan pedoman teknis tanpa mengubah substansi UU. Isinya tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya, sesuai asas *lex superior derogate legi inferiori*.
Kekuatan Mengikat dan Sanksi
- Tidak Memiliki Kekuatan Hukum Pidana
SE tidak mencantumkan sanksi hukum karena bukan produk legislatif. Pelanggaran terhadap SE tidak dapat dijadikan dasar penuntutan pidana, mengingat asas legalitas dalam Pasal 1 KUHP mensyaratkan larangan harus tertulis dalam undang-undang. Contohnya, pelanggar SE tentang pembelajaran Ramadan tidak bisa diproses hukum oleh polisi.
- Hanya Mengikat Secara Internal
SE bersifat mengikat secara vertikal dalam lingkungan instansi penerbit. Misalnya, SE Menteri Pendidikan No. 3/2025 tentang efisiensi anggaran hanya berlaku bagi pegawai di lingkungan kementerian tersebut. Di luar instansi, SE tidak memiliki kekuatan memaksa.
Tantangan dan Kontroversi
- Potensi Penyalahgunaan Kewenangan
SE sering dianggap “abu-abu” karena diterbitkan tanpa dasar hukum eksplisit, hanya mengandalkan kewenangan diskresi pejabat . Contoh kasus manipulasi izin TKA di Kemnaker (2025) menunjukkan bagaimana SE bisa dimanfaatkan untuk praktik korupsi jika tidak diawasi.
- Risiko Tumpang Tindih dengan Peraturan Lain
Meski idealnya SE hanya bersifat penjelas, dalam praktik, ada SE yang menambahkan ketentuan baru atau bahkan menganulir peraturan yang lebih tinggi. Hal ini bertentangan dengan prinsip hierarki hukum dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian.
Perspektif Filosofis dan Sosiologis
- Kebutuhan akan Fleksibilitas Birokrasi
SE dibutuhkan untuk merespons kondisi mendesak atau kekosongan hukum, seperti pandemi COVID-19, di mana pemerintah perlu cepat bertindak tanpa menunggu proses legislatif panjang.
- Pertanggungjawaban Moral vs. Legalitas
Meski tidak memiliki kekuatan hukum, penerbitan SE harus mempertimbangkan prinsip pemerintahan yang baik (good governance) dan keselarasan dengan nilai Pancasila. Misalnya, SE bersama tiga menteri tentang pembelajaran Ramadan (2025) mencerminkan harmonisasi kebijakan dengan nilai sosial-keagamaan.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Surat Edaran memiliki peran penting sebagai instrumen administratif untuk memperlancar birokrasi, tetapi kekuatan hukumnya terbatas. SE tidak boleh dijadikan pengganti peraturan perundang-undangan, apalagi bertentangan dengan hierarki yang lebih tinggi. Untuk mencegah penyalahgunaan, diperlukan:
- Pengawasan ketat oleh lembaga seperti KPK atau Ombudsman terhadap SE yang berpotensi koruptif.
- Sosialisasi struktural kepada pejabat tentang batasan kewenangan penerbitan SE.
- Integrasi dengan sistem hukum melalui revisi UU No. 12/2011 untuk mengatur SE secara eksplisit, meski tetap di luar hierarki.
Shanto Adi P/Editor