Foto Istimewa
(IHINEWS) Karawang (22/05/2025), Kebijakan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) yang diatur melalui Perpres No. 59 Tahun 2024 menuai penolakan luas dari kelompok buruh, serikat pekerja, dan masyarakat sipil. Kebijakan ini dianggap tidak hanya mengancam prinsip keadilan sosial dalam sistem jaminan kesehatan nasional, tetapi juga berpotensi menciptakan ketimpangan baru dalam akses layanan kesehatan.
KRIS menghapus sistem kelas rawat inap (1, 2, 3) dan menggantikannya dengan satu standar ruang perawatan untuk semua peserta BPJS Kesehatan. Padahal, sistem kelas sebelumnya memungkinkan peserta dengan iuran lebih tinggi (kelas 1 dan 2) mendapatkan layanan yang lebih baik, seperti kamar dengan fasilitas privat atau semi-privat. Dengan KRIS, peserta kelas 1 dan 2 dipaksa “turun kelas” ke kamar berisi 4 tempat tidur, yang dinilai merendahkan kenyamanan dan kualitas layanan.
Kelompok buruh menegaskan bahwa kebijakan ini bertentangan dengan semangat gotong royong, di mana peserta dengan kemampuan finansial berbeda sebelumnya berkontribusi sesuai kelasnya. KRIS justru menyamaratakan layanan tanpa mempertimbangkan kemampuan dan kebutuhan peserta, sehingga menciptakan ketidakadilan bagi pekerja yang telah membayar iuran lebih tinggi.
KRIS dinilai cacat secara prosedural karena tidak melibatkan partisipasi publik dalam perumusannya. Padahal, UU No. 13/2022 mewajibkan pelibatan masyarakat dalam penyusunan regulasi. Serikat pekerja, buruh, dan organisasi sipil seperti BPJS Watch mengecam bahwa mereka tidak diajak berkonsultasi, padahal kebijakan ini langsung berdampak pada hak peserta JKN.
Koordinator BPJS Watch, Timboel Siregar, menegaskan bahwa ketiadaan partisipasi ini menunjukkan sikap pemerintah yang sepihak dan tidak transparan. Hal ini diperparah dengan dugaan bahwa KRIS sengaja dirancang untuk membuka peluang pasar bagi asuransi kesehatan swasta, yang selama ini kalah bersaing dengan BPJS Kesehatan.
Implementasi KRIS berpotensi mengurangi jumlah tempat tidur di rumah sakit. Misalnya, rumah sakit pemerintah hanya wajib menyediakan 60% tempat tidur untuk peserta JKN, sementara swasta 40%—padahal sebelumnya hampir 100% digunakan untuk peserta BPJS. Penurunan kuota ini dikhawatirkan memperparah antrean di IGD dan memaksa peserta membayar tambahan (out of pocket) jika kamar penuh.
Selain itu, peserta kelas 3 yang selama ini mendapat subsidi pemerintah (PBI) justru dipaksa naik kelas dengan iuran lebih tinggi. Beban APBN dan anggaran daerah pun diprediksi melonjak, karena peserta PBI yang dominan akan menambah defisit keuangan BPJS Kesehatan.
Penolakan terhadap KRIS juga menyasar aspek konstitusional. Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan negara untuk menjamin layanan kesehatan yang layak. Namun, KRIS dianggap mengabaikan mandat ini dengan membatasi akses peserta JKN ke fasilitas yang kurang memadai. Misalnya, standar KRIS hanya mengizinkan 4 tempat tidur per kamar tanpa partisi privat, yang berisiko mengurangi privasi dan kenyamanan pasien.
Forum Jamsos menegaskan bahwa kebijakan ini justru “melembagakan ketimpangan” dengan mengorbankan hak pekerja dan masyarakat miskin. Padahal, BPJS Kesehatan seharusnya menjadi instrumen perlindungan sosial, bukan alat komersialisasi layanan kesehatan.
Forum Jamsos dan serikat pekerja meminta Presiden Prabowo Subianto mengkaji ulang KRIS sebelum 1 Juli 2025. Mereka menuntut pemerintah fokus memperbaiki layanan yang sudah ada, bukan menurunkan standar. Perlu revisi Perpres No. 59/2024, terutama Pasal 46 ayat 7, untuk mengakomodasi variasi kelas rawat inap dan menghindari diskriminasi. Proses perumusan kebijakan harus melibatkan buruh, pekerja, dan masyarakat sipil sebagai pemangku kepentingan utama .
Penolakan terhadap KRIS mencerminkan kegagalan negara dalam menyeimbangkan efisiensi sistem dengan hak dasar rakyat. Kebijakan ini tidak hanya mengancam keberlanjutan BPJS Kesehatan sebagai program inklusif, tetapi juga berpotensi memicu krisis kepercayaan publik. Tanpa dialog terbuka dan perbaikan mendasar, KRIS berisiko menjadi simbol baru ketimpangan dalam sistem jaminan sosial Indonesia.
Shanto Adi P/Editor