Foto Ilustrasi
(IHINEWS) Karawang (27/05/2025), Aktivisme, yang dahulu lahir dari luka ketidakadilan, perampasan tanah, dan pembungkaman suara, kini mengalami metamorfosis paradoksal. Ia bertransformasi dari gerakan yang mengakar di jalanan menjadi pertunjukan yang terkurasi di ruang ber-AC, dibiayai korporasi, dan dikendalikan algoritma yang lebih menghargai viralitas daripada kebenaran. Pergeseran ini bukan sekadar perubahan medium, melainkan krisis identitas yang mencerminkan dilema zaman digital.
Aktivisme klasik bersumber dari ketimpangan struktural seperti perampasan tanah adat atau penindasan rezim otoriter yang memicu aksi kolektif berbasis solidaritas fisik. Gerakan ini mengandalkan komunikasi interpersonal langsung, seperti diskusi di ruang publik atau aksi turun ke jalan, yang membentuk ikatan emosional antarpartisipan. Contohnya, protes petani terhadap penggusuran atau demonstrasi mahasiswa 1998 di Indonesia, di mana risiko fisik dan represi menjadi bagian tak terpisahkan dari perjuangan.
Di era Revolusi Industri 4.0, aktivisme seringkali direduksi menjadi konten yang dikemas untuk kepuasan algoritma. Platform seperti Instagram atau TikTok mengubah narasi perlawanan menjadi tren hashtag (#SaveTheEarth, #JusticeForX) yang lebih mementingkan jumlah “like” daripada dampak nyata. Seminar atau webinar yang disponsori perusahaan multinasional menawarkan ruang diskusi “aman” tetapi menghindari kritik radikal terhadap sistem yang menjadi akar masalah. Contoh konkret: Kampanye lingkungan yang didanai perusahaan energi fosil, di mana narasi “hijau” digunakan sebagai alat greenwashing tanpa perubahan kebijakan substansial.
Algoritma media sosial menciptakan ruang gema (echo chambers) yang mengisolasi aktivis dalam kelompok seideologi. Misalnya, aktivis LGBT di Samarinda yang membangun komunitas online tapi terjebak dalam lingkaran diskusi tertutup, minim dialog dengan kelompok berlawanan. Filter gelembung ini memperkuat prasangka dan mengurangi kemampuan untuk memahami kompleksitas isu. Aktivisme menjadi “pertunjukan” untuk audiens yang sudah sepaham, bukan upaya mengubah persepsi publik luas.
Studi tentang etika komunikasi di WhatsApp menunjukkan kecenderungan pengguna untuk menyebarkan informasi tanpa verifikasi, termasuk konten aktivisme yang hiperbolis atau mengandung hoaks. Fenomena post-truth memperparah situasi narasi emosional lebih diutamakan daripada fakta, seperti kasus kampanye anti vaksin yang menyamar sebagai gerakan kesehatan masyarakat. Algoritma justru menghukum konten yang kritis tetapi kurang populer, sementara misinformasi yang sensational diterima luas.
Aktivisme kontemporer ibarat pedang bermata dua: memanfaatkan teknologi untuk jangkauan global, tetapi terjebak dalam logika kapitalistik yang mengosongkan makna perlawanan. Seperti dikritik dalam kajian post-truth, ketika kebenaran direduksi menjadi opini, aktivisme kehilangan nyali untuk mengungkap realitas pahit. Tantangan terbesar kini bukan hanya melawan ketidakadilan, tetapi juga membebaskan diri dari ilusi kenyamanan ruang ber-AC dan candu algoritma. Sejarah membuktikan bahwa perubahan sejati selalu lahir dari keberanian menghadapi risiko bukan dari clicktivism yang steril.
Shanto Adi P/Editor