Foto Istimewa
(IHINEWS) Karawang (27/05/2025), Ironi keadilan seringkali memunculkan pertanyaan mendalam tentang nilai-nilai yang kita junjung sebagai masyarakat. Mari kita bandingkan dua skenario yang, pada permukaannya, tampak tidak berhubungan, namun menyuarakan kegelisahan yang sama: hukuman bagi anak sekolah yang “nakal” dan hukuman bagi aparat penegak hukum yang melanggar hukum dan sumpah.
Di satu sisi, kita melihat kebijakan Gubernur Jawa Barat yang mengirim anak-anak sekolah yang dianggap melanggar aturan ke barak militer untuk didisiplinkan. Argumennya adalah penanaman karakter, kedisiplinan, dan etika. Konsekuensinya, mereka akan menjalani rutinitas ketat, jauh dari kenyamanan rumah, dan mungkin menghadapi tekanan fisik serta mental yang signifikan. Tujuannya mulia: membentuk generasi muda yang bertanggung jawab. Namun, metode ini, bagi sebagian orang, terkesan keras dan berpotensi traumatik, mengabaikan pendekatan persuasif atau psikologis yang lebih berempati.
Di sisi lain, publik digegerkan dengan kabar enam polisi di Kalimantan Selatan yang positif narkoba namun hanya dihukum untuk salat lima waktu dan melakukan apel. Sebuah hukuman yang terasa ringan, bahkan mungkin tidak proporsional, mengingat bobot pelanggarannya. Narkoba adalah musuh bersama, dan aparat penegak hukum seharusnya menjadi garda terdepan dalam pemberantasannya. Ketika mereka sendiri terlibat, kepercayaan publik terkikis, dan integritas institusi dipertanyakan. Apalagi, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, salat lima waktu dan apel adalah bagian dari rutinitas atau kewajiban, bukan sebuah “hukuman” yang bisa menimbulkan efek jera yang berarti.
Perbandingan ini sungguh menggelitik. Kita seolah melihat standar ganda dalam penerapan disiplin dan keadilan. Anak-anak yang sedang dalam fase pencarian identitas dan rentan terhadap kesalahan, dihukum dengan cara yang ekstrem demi “pembentukan karakter”. Sementara itu, individu dewasa, yang seharusnya menjadi teladan dan penegak hukum, yang melakukan pelanggaran serius dengan dampak luas, justru mendapatkan “hukuman” yang terkesan minimalis.
Ini bukan tentang apakah anak sekolah pantas didisiplinkan atau apakah polisi yang bersalah harus dihukum seberat-beratnya. Ini tentang konsistensi dan proporsionalitas. Jika kita serius ingin mendisiplinkan anak-anak dengan mengirim mereka ke barak militer, mengapa hukuman bagi pelanggaran yang lebih serius oleh aparat negara justru terkesan lunak? Apakah kita, sebagai masyarakat, secara tidak sadar mengesampingkan prinsip keadilan demi kemudahan atau kepentingan tertentu?
Narasi ini bukan hanya kritik, melainkan ajakan untuk merefleksikan kembali sistem hukum dan disiplin yang kita terapkan. Apakah kita sudah adil dalam menempatkan hukuman sesuai dengan tingkat kesalahan dan dampaknya? Atau, jangan-jangan, ada bias yang membuat sebagian orang mendapatkan perlakuan yang lebih ringan, sementara yang lain harus menanggung beban yang lebih berat? Ini adalah pertanyaan fundamental yang harus kita jawab bersama demi terwujudnya keadilan yang sejati.
Shanto Adi P/Editor