Foto Istimewa
(IHINEWS) Karawang (26/05/2025), Penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terjadi pada akhir Mei 2025 menarik untuk dianalisis. Meski sering diasosiasikan dengan peningkatan fundamental ekonomi domestik, realitasnya lebih kompleks dan membutuhkan kajian lebih lanjut.
Bank Indonesia (BI) diketahui secara aktif melakukan intervensi di pasar valuta asing, terutama melalui strategi “smart intervention” yang fokus pada pasar offshore dan Non-Deliverable Forward (NDF). Intervensi ini bertujuan menstabilkan volatilitas dan menjaga mekanisme penawaran-permintaan. Misalnya, pada Mei 2025, BI mencatat rupiah menguat 2,6% seiring efektivitas kebijakan ini, bahkan melampaui performa mata uang Singapura dan Filipina. Jadi dapat disimpulkan bahwa ada peran BI dalam penguatan nilai tukar rupiah, sehingga penguatan rupiah tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan ekonomi domestik yang membaik, tetapi lebih pada upaya teknis BI untuk menciptakan stabilitas.
Selain faktor di atas terdapat pula faktor eksternal yang mendorong penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika yaitu :
Ketidakpastian Ekonomi AS: Prospek resesi AS, penurunan peringkat utang oleh Moody’s (dari Aaa ke Aa1), dan defisit fiskal yang membengkak membuat dolar AS kehilangan daya tarik. Indeks dolar AS (DXY) turun ke level 98,76 pada 26 Mei 2025, memperkuat mata uang negara berkembang termasuk rupiah.
Meredanya Ketegangan Perdagangan AS-China: Kesepakatan gencatan senjata tarif selama 90 hari antara AS dan China pada 13 Mei 2025 meningkatkan sentimen positif di pasar global. Hal ini mendorong aliran modal ke aset risiko seperti rupiah.
Sementara itu dinamika ekonomi domestic Indonesia adalah pertumbuhan ekonomi yamg terbatas dan ada risiko fiskal. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat 4,87%, di bawah target pemerintah. Meski BI mencatat pertumbuhan likuiditas (M2) 5,2% pada April 2025, hal ini belum cukup untuk menjadi dasar penguatan rupiah yang berkelanjutan. Selain itu ada pula risiko APBN karena program prioritas pemerintah berpotensi membebani APBN 2026 jika tidak dioptimalkan, sementara utang luar negeri dan subsidi energi tetap menjadi tantangan.
Perlu dilihat juga bahwa tidak hanya rupiah yang menguat terhadap dolar AS, mata uang negara-negara di ASEAN pun mengalami kenaikan kurs terhadap dolar. Diketahui bahwa rupiah berada di posisi ketiga penguatan terbesar di Asia Tenggara pada Mei 2025 (2,6%), di bawah Thailand (2,9%) dan Malaysia (2,64%). Ini menunjukkan bahwa penguatan rupiah sejalan dengan tren regional, didorong oleh melemahnya dolar AS dan bukan keunggulan spesifik Indonesia.
Penguatan rupiah Mei 2025 lebih dipengaruhi oleh faktor eksternal (melemahnya dolar AS, meredanya perang dagang) dan intervensi BI ketimbang perbaikan fundamental ekonomi Indonesia. Meski kebijakan moneter BI berhasil menciptakan stabilitas jangka pendek, ketahanan rupiah dalam jangka panjang bergantung pada kemampuan pemerintah mengatasi risiko fiskal dan meningkatkan daya saing ekonomi domestik.
Shanto Adi P/Editor