ATURAN NON DARURAT MENYULITKAN PROSES RUJUKAN KE RUMAH SAKIT

Foto Istimewa

(IHINEWS) Karawang (22/05/2025), Sistem rujukan berjenjang dalam program BPJS Kesehatan dirancang untuk mengoptimalkan layanan kesehatan primer. Namun, aturan ini justru kerap menjadi penghalang bagi peserta BPJS yang membutuhkan akses cepat ke rumah sakit, terutama ketika kondisi mereka belum memenuhi kriteria gawat darurat.

Pasien BPJS diwajibkan mendapatkan rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) seperti puskesmas sebelum dapat dirawat di rumah sakit, kecuali dalam kondisi darurat. Namun, definisi “gawat darurat” menurut PERMENKES No. 47/2018 sangat spesifik, seperti ancaman nyawa, gangguan pernapasan, atau kesadaran . Kondisi seperti sakit maag, demam ringan, atau nyeri kronis yang belum masuk kategori darurat seringkali ditolak di IGD, memaksa pasien kembali ke FKTP. Padahal, FKTP memiliki jam operasional terbatas (misalnya hingga pukul 21.00), sehingga pasien yang datang di luar jam tersebut kesulitan mendapatkan rujukan.

Meski aturan BPJS tidak membatasi kuota layanan, banyak rumah sakit secara tidak resmi memprioritaskan pasien umum atau asuransi swasta. Pasien BPJS kerap mendapat pelayanan lambat, obat generik berkualitas rendah, atau bahkan ditolak dengan alasan “tidak memenuhi kriteria darurat”. Contoh nyata terjadi di RSUD Nunukan, di mana pasien dengan gejala seperti batuk pilek atau sakit gigi tidak dapat dirawat di IGD dan harus melalui prosedur rujukan yang rumit.

Prosedur administratif yang kompleks, seperti surat rujukan aktif atau verifikasi kartu BPJS, sering menghambat pasien. Misalnya, kunjungan kontrol harus sesuai tanggal yang tercantum dalam surat rujukan. Jika tidak, pasien dianggap “umum” dan harus membayar tunai . Selain itu, minimnya sosialisasi membuat banyak peserta BPJS tidak memahami hak mereka, seperti hak untuk langsung mengakses IGD dalam kondisi darurat tanpa rujukan.

Penolakan berulang terhadap pasien BPJS menyebabkan keterlambatan penanganan medis, terutama bagi masyarakat miskin dan pekerja informal yang bergantung sepenuhnya pada program ini. Ombudsman RI mencatat peningkatan pengaduan terkait layanan BPJS dari 300 (2021) menjadi 400 kasus (2022), dengan mayoritas terkait diskriminasi dan penolakan. Praktik ini bertentangan dengan Pasal 28H UUD 1945 yang menjamin hak kesehatan sebagai hak konstitusional.

Kesulitan pasien BPJS dalam mengakses rujukan rumah sakit mencerminkan kegagalan sistemik dalam menyeimbangkan regulasi dan kebutuhan riil masyarakat. Tanpa reformasi kebijakan yang inklusif dan penegakan hukum yang tegas, program BPJS Kesehatan berisiko kehilangan esensinya sebagai penjamin hak kesehatan universal.

Shanto Adi P/Editor

5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments