BLT BUKAN SOLUSI STRUKTURAL UNTUK ISU UPAH BURUH RENDAH

(IHINEWS) Karawang 06/05/2025, Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini menyatakan bahwa rendahnya upah buruh Indonesia disebabkan oleh pemerintah yang “menutupinya” melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp500 triliun per tahun . Pernyataan ini menuai kritik karena mencampuradukkan dua konteks berbeda: upah sebagai hak buruh dan bantuan sosial sebagai jaring pengaman. Adapun alasannya adalah sebagai berikut:

A. BLT vs Upah: Dua Konteks yang Tidak Boleh Disamakan

Prabowo berargumen bahwa BLT memungkinkan pengusaha membayar upah rendah karena pemerintah telah “menggantikan” kebutuhan dasar buruh melalui program social. Namun, logika ini bermasalah karena:

  1. Upah adalah hak buruh sebagai imbalan atas kontribusi produktif mereka, sementara BLT bersifat sementara dan tidak menjamin keberlanjutan daya beli .
  2. BLT dirancang untuk kelompok rentan, termasuk non-pekerja, sehingga tidak relevan dijadikan alasan untuk membenarkan upah rendah.
  3. Buruh formal maupun informal tetap membutuhkan upah layak untuk memenuhi kebutuhan jangka panjang, seperti pendidikan anak, perumahan, dan kesehatan, yang tidak bisa diatasi hanya dengan BLT Rp600.000–Rp1 juta.

 

B. Persoalan Struktural yang Diabaikan

Pernyataan Prabowo mengalihkan fokus dari akar masalah rendahnya upah, seperti:

  1. Ketimpangan negosiasi upah : Buruh kerap tidak memiliki daya tawar memadai terhadap pengusaha, terutama di sektor outsourcing yang marak.
  2. Regulasi yang lemah: UU Ketenagakerjaan No. 13/2003 dinilai tidak melindungi buruh dari PHK sepihak atau eksploitasi upah.
  3. Inflasi dan kenaikan harga komoditas: Subsidi BBM atau listrik tidak cukup menahan laju inflasi yang menggerus daya beli, sementara kenaikan upah minimum (UMP) hanya 1-5% per tahun .

BLT dan program serupa hanya bersifat  seperti “pemadam kebakaran, bukan solusi untuk memperkuat posisi buruh dalam sistem ekonomi .

C. Kritik dari Serikat Buruh dan Pakar

  1. Serikat buruh menilai BLT justru menciptakan “cemburu sosial” karena pekerja informal (78 juta orang) sering terabaikan . Misalnya, buruh bangunan atau pedagang kaki lima tidak tercakup dalam subsidi upah formal.
  2. Pengamat kebijakan public seperti Trubus Rahadiansyah menyebut BLT bernuansa politis dan tidak menyentuh reformasi struktural, seperti penciptaan lapangan kerja berkelanjutan .
  3. Lili Romli (BRIN) menegaskan bahwa kehadiran Prabowo di May Day 2025 tidak cukup tanpa kebijakan konkret meningkatkan kesejahteraan buruh, seperti revisi UU Ketenagakerjaan atau penghapusan outsourcing.

Mengaitkan upah rendah dengan BLT adalah simplifikasi yang berbahaya. BLT mungkin mengurangi tekanan sosial jangka pendek, tetapi tidak menggantikan tanggung jawab negara dan pengusaha dalam menjamin upah layak. Pemerintah perlu berhenti menjadikan BLT sebagai “tameng” untuk menghindari reformasi struktural, seperti yang dikritik oleh buruh dan pakar. Tanpa perubahan sistemik, ketimpangan ekonomi dan ketidakpuasan buruh akan terus mengancam stabilitas nasional.

Shanto Adi P/Editor

5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments