Sebuah Fiksi
Di sebuah negeri bernama Nurani, langit selalu dihiasi azan yang bergema dari menara-menara masjid megah. Penduduknya taat beribadah, mengenakan jubah putih bersih, dan menutup hari dengan doa bersama. Setiap dinding kota dipenuhi kaligrafi suci, dan hukum agama menjadi dasar setiap keputusan negara. Namun, di balik kemilau kesalehan itu, tersembunyi rahasia yang menggerogoti jiwa negeri yaitu korupsi yang merajalela.
Nurani dipimpin oleh Sultan Harun, seorang penguasa yang dijuluki “Pelindung Iman”. Setiap Jumat, ia berpidato tentang keadilan di mimbar masjid agung, Al Basyir, yang dibangun dengan dana yang dikorup dari anggaran pendidikan. Rakyat bersujud syukur, tak menyadari bahwa uang mereka mengalir ke rekening sang Sultan.
Di pasar, Laila, seorang jurnalis muda, menyamar sebagai pedagang kain. Ia menyaksikan pejabat-pejabat menerima suap di gang-gang gelap, sambil melafalkan ayat suci. “Ini untuk kemaslahatan umat,” bisik seorang menteri kepada pedagang yang membayar “pajak tambahan”. Laila merekam semuanya dengan kamera tersembunyi di jilbabnya.
Korupsi di Nurani tersistem rapi. Setiap proyek pembangunan masjid atau acara keagamaan menjadi celah untuk menggelapkan dana. Kyai Farid, pemimpin spiritual tertinggi, diam-diam memiliki saham di perusahaan yang memenangkan tender proyek air bersih yang tak kunjung selesai. “Sedekah membersihkan harta,” katanya saat membagikan beras gratis di bulan Ramadan, sambil mengabaikan pertanyaan tentang desa yang kekeringan.
Laila menemui Arif, mantan bendahara istana yang dipecat karena menolak memalsukan laporan keuangan. “Mereka menggunakan agama sebagai tameng. Jika kau bertanya, mereka akan menyebutmu kafir,” ujarnya, menyerahkan dokumen rahasia tentang aliran dana haram ke Laila.
Ketika Laila mempublikasikan investigasinya, seluruh Nurani gempar. Bukannya mendukung, banyak warga marah. “Jangan pecah-belah umat!” teriak mereka, menganggap Laila sebagai alat asing yang ingin meruntuhkan iman. Sultan Harun menangis di televisi, menyebut tuduhan itu fitnah. Sementara itu, Kyai Farid mengeluarkan fatwa: “Mengungkap aib pemimpin adalah dosa besar.”
Tapi sebagian kecil rakyat mulai bertanya. Rania, guru mengaji di pelosok, menemukan murid-muridnya kelaparan karena dana bantuan sosial lenyap. “Bagaimana mungkin kita suci di masjid, tapi tega mencuri roti dari anak yatim?” gumamnya, mulai meragukan dogma buta yang diajarkannya.
Laila dituduh menghina agama dan dipenjara. Namun, tulisannya menyebar seperti api. Di bawah tanah, gerakan pemuda mulai terbentuk. Mereka menyebarkan puisi dan grafiti di dinding masjid: “Iman sejati bukan jubah, tapi kejujuran.”
Sultan Harun panik. Perekonomian Nurani kolaps akibat korupsi yang terlalu lama diabaikan. Kyai Farid tiba-tiba “sakit” dan mengundurkan diri, menghilang ke luar negeri. Di tengah kekacauan, Rania berani berbicara di pengajian: “Allah melihat apa yang kita sembunyikan. Mungkin ini ujian untuk membersihkan hati, bukan hanya ritual.”
Laila dibebaskan setelah tekanan internasional. Nurani masih berdiri, tapi retaknya mulai terlihat. Beberapa pejabat diadili, sebagian kabur. Masjid Al-Basyir kini sepi, dindingnya coretan-coretan bertuliskan “Di mana keadilan?”.
Di sudut kota, Laila dan Rania mendirikan sekolah gratis. Mereka mengajarkan anak-anak membaca, matematika, dan satu pelajaran tambahan “Agama tanpa keadilan hanyalah panggung sandiwara.” Nurani belum berubah, tetapi di antara kegelapan, lilin-lilin kecil mulai menyala.
Shanto Adi P/Editor