MODAL KOPERASI MERAH PUTIH DARI PINJAMAN BANK, ANTARA AMBISI DAN TANTANGAN

(IHINEWS) Karawang (26/05/2025), Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Pangan menegaskan bahwa modal awal Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih sebesar Rp3 miliar per unit tidak bersumber dari APBN, melainkan dari pinjaman bank-bank negara (Himbara) dengan tenor enam tahun. Kebijakan ini menuai pro-kontra, terutama terkait kesiapan koperasi dalam mengelola utang dan implikasinya terhadap keberlanjutan ekonomi desa.

Pemerintah menekankan bahwa dana Rp3 miliar merupakan plafon pinjaman, bukan hibah. Pinjaman ini ditujukan untuk membiayai enam jenis usaha koperasi, seperti agen LPG, pupuk, sembako dari Bulog, logistik pangan, dan layanan keuangan. Pembayaran angsurannya diharapkan berasal dari keuntungan bisnis koperasi.

Pemerintah beralasan bahwa skema ini dijalankan untuk menghindari ketergantungan pada APBN sekaligus menanamkan disiplin bisnis agar koperasi dikelola secara profesional. Oleh karena itu koperasi harus mampu menghasilkan laba yang cukup untuk membayar utang. Jika gagal, risiko kredit macet mengancam stabilitas perbankan Himbara.

Proyek Koperasi Merah Putih bertujuan memotong rantai pasok pangan dan menciptakan lapangan kerja di desa. Namun, skema pinjaman ini menyimpan sejumlah risiko, yaitu :

  1. Koperasi mungkin kesulitan memenuhi syarat character, capacity, collateral, karena minimnya sejarah kredit dan aset jaminan .
  2. Kualitas SDM : Literasi keuangan dan manajemen pengelola koperasi masih rendah. Data ICA (2023) menunjukkan tidak ada koperasi Indonesia yang masuk 300 besar dunia, meski jumlahnya mencapai 130 ribu .
  3. Potensi Intervensi Politik : Keputusan pinjaman yang “dipaksakan” ke bank Himbara berisiko mengganggu prinsip kehati-hatian perbankan.

Ekonom APINDO, Ajib Hamdani, menyoroti tiga masalah utama yaitu :

  1. Dari sisi Perbankan, penyaluran kredit ke koperasi berisiko melanggar regulasi OJK jika tidak memenuhi prinsip 5C.
  2. Akuntabilitas Keuangan Negara, jika dana APBN (misalnya dari realokasi dana desa) digunakan untuk biaya operasional (seperti notaris), koperasi berpotensi menjadi objek audit BPK .
  3. Tumpang Tindih dengan BUMDes.Koperasi Merah Putih berisiko menggeser peran BUMDes yang sudah ada, padahal keduanya memiliki basis hukum dan tujuan berbeda.

Kebijakan pendanaan Koperasi Merah Putih melalui pinjaman Himbara mencerminkan upaya pemerintah menciptakan ekosistem ekonomi desa yang mandiri. Namun, ambisi ini harus diimbangi dengan kesiapan sistemik, termasuk peningkatan kapasitas SDM, pengawasan ketat, dan koordinasi antarlembaga. Tanpa itu, program senilai Rp250 triliun ini berisiko menjadi “abu-abu” tidak jelas antara kepentingan bisnis dan politik seperti diingatkan APINDO. Keberhasilannya akan ditentukan oleh sejauh mana pemerintah mampu mengubah utang menjadi investasi produktif bagi masyarakat desa.

Shanto Adi P/Editor

5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments