DAMPAK PAJAK CUKAI ROKOK TINGGI CERMINAN EKSPLOITASI BURUH PABRIK ROKOK

(IHINEWS) Karawang (26/05/2025) Pajak cukai rokok yang terus meningkat kerap dianggap sebagai instrumen efektif untuk mengurangi konsumsi rokok dan meningkatkan pendapatan negara. Namun, di sisi lain, kebijakan ini menuai kontroversi karena diyakini berdampak langsung pada kesejahteraan ribuan buruh pabrik rokok dan rantai pasokannya.

Kenaikan cukai rokok rata-rata 10 sampai dengan 15 persen per tahun menyebabkan harga rokok menjadi mahal sehingga konsumen banyak yang beralih ke rokok ilegal. Menurut data GGTC tahun 2023, 30 persen pasar rokok Indonesia didominasi rokok ilegal. Akibatnya Produsen rokok legal terpaksa mengurangi produksi akibat penurunan permintaan. Contoh: PT Nojorono Tobacco (Kudus) melakukan PHK 1.200 pekerja pada 2023 karena penurunan penjualan.

Industri rokok mengandalkan tenaga kerja murah, terutama di sektor buruh kontrak dan outsourcing, menurut data yang ada sekitar 70% buruh pabrik rokok berstatus kontrak. Pada praktiknya saat perusahaan menghadapi beban cukai tinggi, upah buruh seringkali ditekan atau dibayarkan di bawah UMR untuk menekan biaya produksi.

Menurut pemerintah kebijakan cukai tinggi ini bertujuan melindungi kesehatan publik dan mengisi kas negara. Untuk diketahui bahwa cukai rokok menyumbang Rp200 triliun/tahun). Selain itu daerah-daerah yang memiliki industri rokok, menggantungkan pendapatannya terhadap industri ini, contohnya di Kudus 60 persen pendapatan daerah tergantung pada industri ini. Tetapi sejauh ini pemerintah abai pada efek domino ke buruh. PHK massal dan upah rendah justru memperdalam kemiskinan struktural di sentra rokok seperti Kudus, Klaten, dan Temanggung.

Buruh pabrik rokok sering dipekerjakan tanpa jaminan pesangon atau BPJS, terlepas dari laba perusahaan yang besar. Contohnya adalah pabrik rokok Gudang Garam mencetak laba Rp5,2 triliun pada Q1 2024, tetapi upah buruh tetap di kisaran Rp2,3-3 juta/bulan.

Pemerintah terjebak dalam paradoks menaikkan cukai untuk kurangi konsumsi rokok, tetapi di saat bersamaan, mengizinkan perluasan industri rokok seperti contohnya investasi pabrik baru PT HM Sampoerna di Jawa Barat. Selain dana cukai yang didapat oleh pemerintah tidak ada sedikitpun dialokasikan buat kepentingan buruh di sektor ini, seperti yang diketahui bahwa hanya 5 persen dana cukai dipakai untuk kesehatan, sedangkan 95 persen dana cukai masuk APBN secara umum.

Memang pajak cukai rokok tinggi bukan satu-satunya penyebab buruh pabrik rokok tidak sejahtera, tetapi ia memperparah ketimpangan sistemik yang sudah ada. Masalah utama terletak pada model industri yang eksploitatif dan kegagalan redistribusi manfaat cukai untuk perlindungan sosial buruh. Tanpa reformasi kebijakan yang holistik, beban kebijakan kesehatan publik ini akan terus ditanggung oleh pekerja kelas bawah, sementara perusahaan dan negara menuai keuntungan.

Shanto Adi P/Editor

5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments