SUARA YANG TERKUBUR

(IHINEWS) Di ibu kota Negara Antah Berantah yang diselimuti kabut asap pabrik, Aditya Pratama, seorang jurnalis senior di media independen Suara Bebas, duduk di kamar gelapnya. Jari-jemarinya gemetar memegang ponsel yang baru saja menerima pesan ancaman:

“Cabut artikelmu, atau kau akan melihat anakmu tergeletak di selokan.”

Dua hari sebelumnya, Aditya mempublikasikan investigasi bertajuk “Mafia Anggaran: Jejak Korupsi di Balik Proyek Ibukota Baru”. Artikel itu mengungkap skema pencucian uang yang melibatkan Menteri Pembangunan Antah Berantah, Jenderal Arifin Darmawan. Dalam 24 jam, klik artikel itu melonjak, tapi komentar section tiba-tiba dipenuhi akun-akun anonim yang menyerang Suara Bebas sebagai “provokator”.

 

Pukul 23.00: Kantor Redaksi Suara Bebas

Rina Wijaya, Pemimpin Redaksi berusia 50 tahun dengan tatapan baja, menatap Aditya yang wajahnya pucat.

“Kamu yakin ingin ini dicabut, Adit? Ini artikel terkuat kita dalam satu dekade,” desaknya.

Aditya mengusap peluh di dahinya. Bayangan foto anak perempuannya, Laras, yang diambil diam-diam di sekolah pagi itu membuatnya sesak.

“Mereka tahu segalanya, Rin. Jika artikel tetap ada, aku… kita semua bisa hilang.”

Di luar jendela, sirene mobil patroli Keamanan Nasional meraung. Sejak artikel terbit, dua reporter junior Suara Bebas dilaporkan “diamankan” dengan tuduhan penyebaran berita palsu.

 

Pukul 03.00: Ruang Server Suara Bebas

Tim IT mendesah lega saat tombol “DELETE” ditekan. Artikel itu raib dari homepage. Tapi Rina diam-diam menyimpan salinan PDF-nya di dark web, bersama pesan:

“Kebenaran mungkin dibungkam, tapi tidak pernah mati.”

 

Pukul 06.00: Pinggiran Kota, Rumah Kontrakan Aditya

Petugas berpakaian hitam menggedor pintu. Tapi rumah sudah kosong. Di bawah bantal, ada surat coretan tangan Aditya untuk Laras:

“Maaf, Ayah harus menjadi pengecut demi melihatmu tumbuh.”

 

Minggu berikutnya, media pemerintah memamerkan headline: “Suara Bebas Minta Maaf atas Pemberitaan Fitnah!”. Tapi di lorong-lorong kumuh, USB berisi artikel itu disebar diam-diam. Seorang remaja membisik di forum online:

“Aditya hilang, tapi suaranya ada di sini.”

Sementara itu, di ruang bawah tanah sebuah rumah tua, Aditya mengetik draft baru dengan VPN berlapis. Judulnya: “Mereka Takut pada Kata-Kata”.

Shanto Adi P/Editor

5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments