(IHINEWS) Karawang (26/05/2025), Sebagai holding company Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Danantara memiliki tanggung jawab strategis untuk memastikan BUMN di bawah naungannya beroperasi secara efisien, kompetitif, dan menghasilkan keuntungan bagi negara. Namun, rencana Danantara membiayai 21 proyek berisiko yang tidak menarik minat investor justru mengalihkan perhatian dari tugas utamanya untuk merevitalisasi BUMN eksisting yang banyak bermasalah.
Banyak BUMN di Indonesia masih terjebak dalam masalah klasik, yaitu : inefisiensi operasional (biaya tinggi, produktivitas rendah), utang menumpuk tanpa strategi restrukturisasi jelas, tata kelola buruk yang rentan korupsi dan intervensi politik, layanan/produk tidak kompetitif di pasar global. Contoh nyata seperti PT Garuda Indonesia pernah nyaris bangkrut karena utang dan manajemen buruk dan PT PLN kerap dikritik karena subsidi listrik yang tidak tepat sasaran.
Alih-alih membenahi masalah ini, Danantara memilih “pelarian” dengan membiayai proyek-proyek baru yang bahkan tidak dianggap layak oleh investor profesional. Ini seperti membiarkan rumah sendiri bocor, tetapi sibuk membangun 21 rumah baru di lahan rawa.
Proyek-proyek ini ditolak investor karena beberapa alasan logis, yaitu : potensi keuntungan tidak jelas (ROI tidak terukur atau terlalu spekulatif), tidak sinergis dengan bisnis inti BUMN yang ada, sehingga minim dampak multiplier, risiko tumpang tindih dengan proyek serupa yang sudah dijalankan BUMN lain.
Jika dipaksakan, konsekuensinya bisa fatal, seperti : kerugian finansial besar yang harus ditanggung negara jika proyek gagal, reputasi Danantara dan BUMN semakin terpuruk di mata investor global, dana terbatas terkuras, padahal bisa digunakan untuk modernisasi BUMN eksisting.
Dana triliunan rupiah yang dialokasikan ke 21 proyek berisiko seharusnya menjadi modal untuk, restrukturisasi utang BUMN bermasalah seperti PT Krakatau Steel, digitalisasi layanan BUMN(misalnya, transformasi PT Pos Indonesia menjadi platform logistik digital), dan inovasi produk/jasa agar BUMN seperti PT Bio Farma bisa bersaing di pasar global. Dengan mengabaikan ini, Danantara mengorbankan kepentingan jangka panjang demi ambisi jangka pendek yang tidak realistis.
Sejarah membuktikan, proyek-proyek BUMN kerap menjadi ajang KKN. Membuka 21 proyek baru berisiko, di antaranya, direkrutnya pihak tidak kompeten (misalnya, kroni pejabat) sebagai pelaksana proyek, mark up anggaran tanpa pengawasan ketat, proyek mangkrak tetapi dana sudah “menguap” ke kantong oknum. Investor menghindari proyek ini bukan hanya karena risiko bisnis, tetapi juga ketidakpercayaan terhadap tata kelola Danantara.
Danantara harus menyadari bahwa BUMN eksisting adalah tulang punggung ekonomi Indonesia. Daripada terjebak dalam proyek-proyek “fiktif” yang tidak jelas ujungnya, Danantara perlu berperan sebagai “dokter” untuk menyembuhkan BUMN sakit, mengalokasikan dana secara bijak untuk modernisasi dan inovasi bisnis inti dan menjaga kepercayaan publik dengan transparansi dan akuntabilitas.
Jika BUMN eksisting bisa dibangkitkan, mereka akan menjadi mesin pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih berkelanjutan daripada 21 proyek berisiko. Jangan biarkan ambisi tanpa perhitungan mengubur potensi nyata yang sudah ada.
Shanto Adi P/Editor