Foto Istimewa
(IHINEWS) Karawang (21/05/2025), Rencana merger antara Grab dan Gojek (di bawah payung GoTo) menuai kontroversi, terutama terkait potensi dampak negatif yang mengancam konsumen, mitra pengemudi, dan ekosistem persaingan usaha di Indonesia.
Penggabungan dua raksasa transportasi online ini berpotensi menciptakan monopoli atau oligopoli. Saat ini, Grab dan Gojek menguasai lebih dari 80% pangsa pasar layanan ojek online di Indonesia. Jika merger terjadi, perusahaan gabungan dapat menjadi price leader yang menentukan harga tanpa tekanan kompetisi. Dampak bagi konsumen adalah konsumen akan kehilangan alternatif layanan dengan harga kompetitif. Promo dan diskon yang selama ini dinikmati mungkin berkurang drastis. Dampak bagi mitra pengemudi yaitu perusahaan bisa memberlakukan kebijakan potongan komisi lebih tinggi atau mengurangi insentif .
Persaingan antara Grab dan Gojek selama ini mendorong inovasi layanan dan variasi fitur. Namun, merger akan mempersempit pilihan konsumen. Contohnya, pengguna tidak bisa lagi membandingkan harga atau layanan antara kedua platform. Selain itu, tekanan untuk berinovasi mungkin menurun karena tidak ada pesaing langsung yang signifikan.
Pemain kecil seperti Maxim dan inDrive berisiko tersingkir karena tidak mampu bersaing dalam hal modal dan strategi promosi. Grab dan Gojek dikenal dengan strategi “bakar uang” (cash burning) untuk mempertahankan pasa, sementara perusahaan kecil sulit mengimbangi praktik ini . Jika merger terjadi, dominasi mereka semakin kuat, sehingga pasar transportasi online berpotensi dikuasai oleh satu entitas besar.
Pengemudi ojek online (ojol) yang selama ini mengandalkan kedua aplikasi untuk meningkatkan pendapatan akan kehilangan fleksibilitas. Jika merger terjadi, mereka hanya bisa mengandalkan satu platform, yang berpotensi mengurangi pendapatan harian. Saat ini, pendapatan ojol sudah tertekan oleh biaya operasional (bensin, pulsa, dll.) dan potongan komisi 30–70% per pesanan. Merger dapat memperparah kondisi ini jika perusahaan menerapkan kebijakan yang lebih ketat.
Gojek (GoTo) merupakan salah satu pemain lokal, sementara Grab didukung oleh investor asing seperti SoftBank dan Mitsubishi. Penggabungan ini dikhawatirkan memperkuat dominasi pemain asing di pasar digital Indonesia. Dari empat pemain besar di industri ini, tiga di antaranya merupakan perusahaan asing, sehingga merger dapat melemahkan posisi bisnis lokal . Ekonom Piter Abdullah menegaskan, pemerintah perlu bertindak sebagai “wasit” untuk menjaga keseimbangan pasar.
Merger ini berpotensi melanggar Undang-Undang Persaingan Usaha karena menciptakan praktik monopoli. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah menyatakan akan mengevaluasi secara ketat jika rencana ini terealisasi. Di Singapura, Grab pernah didenda US$13 juta karena gagal melaporkan merger dengan Uber pada 2018. Risiko serupa mungkin terjadi di Indonesia jika merger dianggap merugikan persaingan sehat.
Pengamat ekonomi digital seperti Nailul Huda (CELIOS) mempertanyakan motif di balik merger ini. Menurutnya, merger seharusnya didorong oleh kebutuhan strategis seperti peningkatan valuasi atau efisiensi operasional, bukan sekadar mengurangi persaingan. Jika motifnya hanya untuk menghindari kerugian, langkah ini dinilai tidak berkelanjutan dan berisiko merugikan ekosistem jangka panjang.
Merger Grab dan Gojek berpotensi mengubah lanskap transportasi online Indonesia secara drastis. Meski efisiensi operasional mungkin tercapai, dampak negatif seperti monopoli, penurunan kesejahteraan pengemudi, dan dominasi asing perlu diwaspadai. Regulator seperti KPPU dan pemerintah harus aktif mengawal proses ini untuk memastikan prinsip persaingan sehat tetap terjaga. Tanpa intervensi tepat, konsumen dan pelaku usaha kecil akan menjadi pihak yang paling dirugikan.
Shanto Adi P/Editor