KASUS TENTA BERLIANA DAN REFLEKSI SISTEM PENDIDIKAN DALAM PENCEGAHAN KORUPSI

Foto Istimewa

(IHINEWS) Karawang (27/05/2025), Kasus dugaan penggelapan dana pelepasan kelulusan sebesar Rp26 juta oleh Tenta Berliana bukan sekadar insiden individu, melainkan cerminan kerapuhan sistemik dalam tata kelola pendidikan Indonesia. Meski nominalnya kecil, kasus ini membuka diskusi kritis tentang efektivitas upaya pencegahan korupsi di sektor pendidikan dan kaitannya dengan budaya korupsi yang mengakar di Indonesia.

Kasus seperti yang diduga dilakukan Tenta Berliana sering dianggap remeh, padahal praktik serupa terjadi secara sistemik. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa 40% kasus korupsi pendidikan pada 2023 melibatkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dengan modus seperti laporan fiktif dan penggelapan dana oleh kepala sekolah atau bendahara. Hal ini mengindikasikan bahwa korupsi di sektor pendidikan tidak hanya terjadi di level kebijakan makro, tetapi juga merembes ke transaksi sehari-hari yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Korupsi “kecil” seperti ini menormalisasi pelanggaran integritas dan membuka jalan bagi praktik lebih besar.

Sektor pendidikan Indonesia menghadapi masalah kompleks, mulai dari alokasi anggaran yang tidak tepat hingga minimnya transparansi. Meski anggaran pendidikan mencapai Rp665 triliun pada 2024, ICW menilai ketimpangan alokasi dan korupsi struktural membuat dana tidak tepat sasaran. Misalnya, Program Prakerja yang menyerap Rp4,8 triliun dari pos pendidikan justru dianggap tidak relevan dengan kebutuhan dasar seperti pendidikan gratis atau fasilitas sekolah layak . Lemahnya pengawasan terhadap penggunaan dana seperti BOS atau dana kelulusan memudahkan oknum seperti Tenta Berliana melakukan penyimpangan.

Upaya pencegahan korupsi melalui pendidikan karakter, seperti integrasi nilai anti-korupsi dalam ekstrakurikuler Pramuka, belum optimal. Penelitian di SMP Kartika XIX-2 Bandung menunjukkan bahwa meski Pramuka berperan membentuk karakter jujur dan disiplin, kendala seperti kurangnya komitmen pembina dan minimnya partisipasi siswa menghambat efektivitas program. Survei KPK 2024 juga mengungkap bahwa integritas peserta didik masih parsial, sementara tenaga pendidik kerap tidak memberikan teladan baik, seperti ketidakdisiplinan atau kecurangan akademik. Artinya, pendidikan anti-korupsi masih bersifat simbolis dan belum menyasar perubahan perilaku konkret.

Fakta mengejutkan dari KPK menyebut 86% koruptor yang ditangkap adalah lulusan perguruan tinggi, bahkan bergelar master . Ini menunjukkan bahwa pendidikan formal tidak otomatis membentuk integritas. Kasus korupsi di Universitas Lampung, di mana calon mahasiswa harus membayar Rp100–350 juta untuk jalur mandiri, memperlihatkan bagaimana oknum pendidik justru menjadi pelaku korupsi terorganisir. Sistem pendidikan yang seharusnya menjadi benteng moral justru tercemar oleh praktik suap dan nepotisme.

Kasus Tenta Berliana membuktikan bahwa sistem pendidikan Indonesia belum mampu menjadi tameng terhadap korupsi. Kerentanan terjadi akibat tata kelola yang lemah, budaya permisif terhadap pelanggaran kecil, dan ketidakkonsistenan penegakan hukum. Meski upaya preventif seperti pendidikan karakter melalui Pramuka telah dilakukan, tanpa reformasi sistemik mulai dari transparansi anggaran hingga pembenahan mentalitas pendidik, korupsi akan tetap menjadi pelajaran yang diwariskan ke generasi berikutnya. Seperti dikhawatirkan Azyumardi Azra, Indonesia berisiko terjun ke lubang gelap korupsi jika tidak ada terobosan kebijakan yang radikal.

Shanto Adi P/Editor

5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments