PANCASILA SAKTI DI ANTARA KEADILAN YANG BELUM BERSEMI

(IHINEWS) Karawang (01/06/2025), Memaknai “kesaktian” Pancasila di tengah Indonesia kekinian, dengan kompleksitas masalah keadilan dan kesejahteraan yang masih membayangi, menuntut kita untuk bergeser dari pemahaman magis simbolis menuju pemaknaan yang substansial dan aksiologis. Kesaktian Pancasila bukan lagi tentang kekebalan mistis negara, melainkan tentang ketangguhan nilai-nilainya sebagai kompas etik dan kerangka solutif bagi masalah kebangsaan yang nyata, terutama ketimpangan dan kemiskinan.

Kesaktian sebagai Kekuatan Menghadapi Tantangan Keadilan (Sila ke-2 & ke-5)

Keadilan Sosial yang Terganjal: Realitas menunjukkan jurang kesejahteraan yang lebar, ketimpangan akses terhadap sumber daya (pendidikan, kesehatan, modal), serta sistem hukum yang seringkali dirasakan berpihak pada yang kuat. Keadilan prosedural belum tentu berujung pada keadilan substantif.

Kesaktian Pancasila Terletak pada Kemampuannya Menjadi Kritik dan Solusi: Kesaktian Pancasila harus dimaknai sebagai kekuatan moral untuk menuntut dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Ia menjadi dasar untuk mengkritik kebijakan yang timpang, menolak korupsi yang menggerogoti uang rakyat, dan mendesain sistem ekonomi yang lebih inklusif. Sila Keadilan Sosial (Sila ke-5) bukan sekadar cita-cita jauh, melainkan imperatif etis yang harus menjadi ukuran keberhasilan pembangunan. Nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab (Sila ke-2) menuntut penghormatan terhadap hak-hak dasar ekonomi sosial budaya rakyat kecil yang sering terabaikan.

Kesaktian sebagai Kerangka Pemersatu di Tengah Perebutan Kesejahteraan (Sila ke-3 & ke-4)

Kerawanan Sosial Akibat Ketimpangan: Ketidakadilan ekonomi dan sosial merupakan lahan subur bagi disintegrasi sosial, konflik horizontal, dan politik identitas yang dimanfaatkan untuk mengalihkan perhatian dari akar masalah. Perebutan sumber daya yang terbatas bisa memicu gesekan.

Kesaktian Pancasila sebagai Perekat Sosial: Di sinilah nilai Persatuan Indonesia (Sila ke-3) dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan (Sila ke-4) menunjukkan “kesaktian”-nya. Pancasila mengingatkan bahwa solusi masalah keadilan dan kesejahteraan harus dicari melalui persatuan dan musyawarah yang inklusif, bukan melalui konflik atau dominasi kelompok tertentu. Ia menjadi fondasi untuk membangun solidaritas sosial lintas kelompok, mengedepankan dialog untuk merumuskan kebijakan pemerataan yang adil, dan memastikan proses demokrasi benar-benar mengakomodasi suara rakyat yang termarjinalkan.

Kesaktian sebagai Landasan Moralitas Bernegara dan Berbisnis (Sila ke-1 & ke-2):

Degradasi Moral Publik dan Korporasi: Masalah keadilan dan kesejahteraan sering berakar pada lemahnya moralitas penyelenggara negara (korupsi, kebijakan yang tidak pro-rakyat) dan praktik bisnis yang eksploitatif (upah rendah, perusakan lingkungan, monopoli).

Kesaktian Pancasila sebagai Penegak Etika: Ketuhanan Yang Maha Esa (Sila ke-1) dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab (Sila ke-2) memberikan landasan spiritual dan etis yang kokoh. Kesaktian Pancasila berarti kemampuannya menuntut akuntabilitas dan integritas dari para pemimpin dan pelaku ekonomi. Ia menjadi dasar untuk menolak segala bentuk kebijakan dan praktik bisnis yang bertentangan dengan keadilan dan kesejahteraan rakyat, menuntut transparansi, dan mendorong tanggung jawab sosial.

Kesaktian sebagai Komitmen pada Kesejahteraan yang Nyata (Sila ke-5):

Kesejahteraan yang Masih Elusif: Pertumbuhan ekonomi seringkali tidak berkorelasi langsung dengan peningkatan kesejahteraan rakyat kecil. Biaya hidup tinggi, akses terhadap layanan dasar berkualitas masih terbatas, dan kerentanan ekonomi sangat terasa.

Kesaktian Pancasila sebagai Penggerak Kebijakan Pro-Rakyat: Kesaktian Pancasila harus terwujud dalam prioritas pembangunan yang jelas: mengentaskan kemiskinan, menyediakan lapangan kerja layak, menjamin pendidikan dan kesehatan berkualitas yang terjangkau, melindungi petani dan nelayan, serta membangun infrastruktur dasar yang merata. Pancasila “sakti” jika sila Keadilan Sosial benar-benar menjadi ruh dalam penyusunan APBN, perumusan undang-undang, dan implementasi program di tingkat tapak.

Dari Sakti Mitis menuju Sakti Praksis

Kesaktian Pancasila di era sekarang ini bukanlah jimat yang membuat negara kebal masalah. Ia adalah kompas yang menunjukkan arah perjalanan bangsa menuju cita-cita keadilan dan kesejahteraan. Ia adalah pisau analisis untuk mengidentifikasi akar ketimpangan. Ia adalah kerangka kerja untuk merancang solusi yang berkeadilan. Ia adalah pengikat moral yang menuntut akuntabilitas penguasa dan pelaku ekonomi.

Kesaktian Pancasila baru benar-benar nyata ketika:

  1. Kebijakan ekonomi benar-benar memihak pada pemberdayaan rakyat kecil dan mengurangi kesenjangan.
  2. Penegakan hukum tidak pandang bulu dan melindungi yang lemah.
  3. Demokrasi menghasilkan pemimpin yang berintegritas dan kebijakan yang partisipatif.
  4. Kekayaan alam dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan segelintir elit.
  5. Setiap warga merasakan keadilan dalam memperoleh hak-hak dasarnya.

Memaknai kesaktian Pancasila, dalam konteks Indonesia yang masih bergulat dengan ketidakadilan dan kesenjangan, adalah dengan menghidupkan nilai-nilainya secara konkret dalam setiap kebijakan, tindakan, dan keputusan. Kesaktian itu teruji bukan pada upacara, tetapi pada kemampuan bangsa ini mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Itulah “sakti” yang sesungguhnya dan relevan untuk Indonesia kekinian.

Shanto Adi P/Editor

5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments