Foto Istimewa
(IHINEWS) Karawang (28/05/2025) Membludaknya para pencari kerja di Job Fair yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi pada selasa (27/05) semakin membuktikan tentang sulitnya mencari pekerjaan di Indonesia.
Di Indonesia, mencari pekerjaan bukan sekadar persoalan kompetensi atau kerja keras, melainkan juga perjuangan melawan sistem yang penuh paradoks. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Agustus 2022, jumlah pengangguran mencapai 8,42 juta orang, dengan lulusan SMA hingga sarjana sebagai kontributor terbesar. Situasi ini diperparah oleh faktor struktural, budaya korupsi, dan ketidakseimbangan antara lapangan kerja dengan jumlah angkatan kerja yang terus meningkat.
Banyak perusahaan menetapkan syarat usia maksimal 25 tahun untuk pelamar, padahal lulusan S1 rata-rata berusia 22–25 tahun. Kondisi ini membuat mereka yang baru lulus langsung terancam kehilangan kesempatan. Lowongan kerja sering kali mensyaratkan status belum menikah atau kemampuan multitasking berlebihan, yang tidak relevan dengan kompetensi pekerjaan. Selain umur dan persyaratan yamg tidak relevan juga ada istilah budaya orang dalam. Sekitar 85% pekerja di Indonesia mengandalkan koneksi atau sogokan untuk mendapatkan pekerjaan, menciptakan ketimpangan bagi yang tidak memiliki relasi. Fenomena ini diperkuat oleh survei Zippia yang menyebut 70% kenaikan jabatan juga dipengaruhi faktor nepotisme.
Pandemi COVID-19 memperburuk situasi dengan memangkas 75% lowongan kerja dan meningkatkan PHK massal. Pada 2024, angka pengangguran sarjana mencapai 842.378 orang, sementara lulusan SMA/SMK menyumbang 2,2 juta pengangguran. Defisit lapangan kerja ini diperparah oleh ketidakstabilan ekonomi global, seperti perang Rusia-Ukraina dan anjloknya nilai tukar rupiah ke Rp16.618 per dolar AS pada 2025.
Pendidikan tinggi tidak menjamin kesiapan kerja. Data BPS menunjukkan 17% pengangguran muda berpendidikan menengah/tinggi, sementara industri membutuhkan keterampilan spesifik seperti penguasaan teknologi atau bahasa asing. Kurangnya program pelatihan kerja menyebabkan banyak pencari kerja tidak mampu bersaing, terutama di sektor yang terdampak otomatisasi dan AI .
Pengangguran berkelanjutan memicu efek domino seperti kemiskinan dan kriminalitas. 62% pekerja Indonesia berpenghasilan rendah (Rp1,5–2,5 juta) kesulitan memenuhi kebutuhan dasar akibat inflasi. Studi Maulana dkk. (2024) menyebut kemiskinan dan pengangguran berkorelasi langsung dengan peningkatan tindak kriminal. Survei SEEK (2024) mengungkap 62% pekerja Indonesia merasa mencari pekerjaan sama sulitnya dengan mencari jodoh. Generasi Z cenderung lebih cepat berpindah karier, sementara lulusan baru terjebak dalam lingkaran “pengalaman vs. lowongan entry-level”.
Sulitnya mencari pekerjaan di Indonesia adalah cermin dari kegagalan sistemik yang membutuhkan reformasi multidimensi. Tanpa perbaikan struktural, peningkatan transparansi, dan sinergi antara pendidikan dan industri, generasi muda akan terus terperangkap dalam labirin pengangguran. Seperti dikatakan Nurmala (2023), “Jadilah generasi yang menciptakan lapangan kerja, bukan pencari kerja”—narasi yang indah, tetapi mustahil diwujudkan tanpa dukungan kebijakan yang konkret.
Shanto Adi P/Editor