SAMPUL INDONESIA DI AKHIR MEI 2025

Foto Istimewa

(IHINEWS) Pak Makidi baru saja menutup gerbang rumahnya ketika suara tangis bayi tetangganya memecah pagi. Ia sempat menoleh, menghela napas, lalu melangkah ke halte dengan langkah pelan. Di tangannya tergenggam koran pagi yang masih hangat. Di halaman utama, terpampang angka: “Inflasi April 1,95%. Ekonomi tumbuh 4,87%”. Ia bukan ekonom. Ia hanya pegawai honorer di kantor kelurahan. Tapi angka itu selalu ia baca. Bukan karena paham, tapi karena ingin tahu: apakah hidup bulan ini akan terasa lebih mahal? Lebih ringan?

Di rumah, istrinya sudah mencatat semua pengeluaran. Minyak goreng, telur, beras. Semuanya naik sedikit demi sedikit. “Nggak terasa,” kata orang-orang. Tapi bagi mereka, setiap rupiah dihitung seperti menakar waktu. Kadang, semangkuk nasi terasa lebih mahal dari segelas kopi di pusat kota.

Jauh di timur, di dataran tinggi Papua Pegunungan, Mama Elis menatap ladang dari jendela dapur kayunya. Udara dingin pagi itu menggigit tulang. Ia sudah mencangkul sejak subuh, seperti biasa. Tapi bulan ini, harga barang di pasar naik lebih cepat dari biasanya. Di warung belakang gereja, satu liter minyak goreng bisa lebih dari lima puluh ribu. Ia dengar, daerahnya mencatat inflasi tertinggi: 5,96 persen. Ia tak tahu apa arti angka itu, tapi ia tahu satu hal—uang yang ia simpan di saku kainnya tak lagi bisa membeli sebanyak dulu.

Di Sleman, Wini baru pulang dari kampus. Ia menatap layar laptop sambil memijat pelipis. Di salah satu tugas kuliahnya, ia diminta menganalisis pertumbuhan ekonomi Indonesia. Angka yang ia temukan: tumbuh 4,87 persen dibanding tahun lalu, tapi menyusut 0,98 persen dibanding kuartal lalu. Wini sempat mengernyit. “Jadi kita maju atau mundur?” Ia teringat obrolan dengan ayahnya minggu lalu. “Uang kosmu bulan depan bisa telat, ya, Win.” Suara ayahnya lembut tapi terasa berat. Wini hanya mengangguk. Tak tega menyalahkan, tak ingin menuntut. Ia tahu, bahkan untuk menyekolahkannya ke universitas, ayahnya menahan banyak keinginan.

Sementara itu, Pak Iksan di Klaten berdiri di tengah sawah yang baru saja dipanen. Mataharinya hangat, anginnya tenang. Musim ini, ia panen besar. Gabahnya melimpah, jauh lebih banyak dari tahun lalu. Bahkan katanya, produksi padi nasional naik hampir 50 persen. Namun ketika ia menjual gabah ke penggilingan, harganya justru turun. Ia hanya bisa mengangguk saat diberi tahu: “Harga pasar sedang begini, Pak.” Di jalan pulang, ia tak henti berpikir, bagaimana bisa panen sebesar ini tak membuatnya lega?

Di seberang lautan, di Pelabuhan Makassar, truk-truk penuh kontainer bergerak tanpa henti. Laut makin ramai. Barang-barang dari timur dan barat bertemu di sini. Aktivitas pengiriman naik, terutama lewat laut—bahkan penumpang naik lebih dari 23 persen. Laut menjadi saksi bahwa Indonesia sedang sibuk mengirimkan sesuatu: makanan, kebutuhan, harapan. Namun di bandara, suasananya sebaliknya. Wisatawan berkurang. Turis asing menurun, hotel-hotel lebih sepi dari biasanya. Mungkin karena kantong orang sedang dikencangkan. Atau karena dunia sedang terlalu lelah untuk berjalan-jalan.

Di ruang kelas SMK di Bekasi, Santoso duduk di pojok kelas. Ia baru saja tahu bahwa lulusan SMK seperti dirinya paling sulit dapat kerja: tingkat penganggurannya 8 persen. Ia menggenggam sertifikat magang dengan tangan dingin. Ibunya menunggunya pulang, berharap ada kabar baik. Santoso ingin berkata, “Bu, aku pasti bisa kerja.” Tapi ia sendiri tak yakin. Ia hanya tahu satu hal: setiap pagi ia bangun lebih cepat, dan setiap malam ia berdoa lebih lama.

Namun di tengah cerita-cerita yang suram, ada cahaya yang perlahan menyala.Di kantor Badan Pusat statistik, sebuah laporan menunjukkan bahwa ketimpangan gender di Indonesia menurun. Angka kecil, tapi maknanya besar. Perempuan mulai mendapat ruang, di sekolah, di kantor, di panggung kehidupan. Wini membacanya pelan, lalu tersenyum. Ia tahu, langkahnya masih jauh, tapi setidaknya jalannya mulai terbuka.

Malam pun turun. Pak Makidi duduk di beranda rumah. Ia membuka koran yang sama, kini sudah lecek dan lusuh. Ia membaca kembali angka-angka itu. Tapi malam ini, ia membacanya dengan lebih tenang. Karena ia tahu, di balik setiap persentase, ada cerita manusia. Cerita tentang ibu yang memasak dengan sisa minyak, anak yang kuliah dengan uang kiriman yang ditunda, petani yang panen tapi masih harus mengikat pinggang, dan pekerja muda yang mencoba percaya bahwa esok bisa lebih baik.

Indonesia tak hanya bergerak lewat grafik dan statistik. Indonesia berjalan lewat langkah orang-orang seperti mereka. Dan selama mereka masih melangkah, angka-angka itu akan terus bernyawa.

Dede Hermawan/Editor

5 2 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments